KAMPUS DAILY– Terkait Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang terjadi sejak Januari 2020 silam akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Tarif iuran BPJS Kesehatan kembali ke tarif lama yang tercatat di Perpres 82/2018 mulai April hingga Juni.
Namun mulai Juli, sesuai dengan Perpres 64/2020 tarif iuran BPJS Kesehatan kembali mengalami kenaikan.
Abdul Sarif selaku Ketua BEM Fakultas Ekonomi Universitas Gorontalo (UG) mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan merupakan strategi ekonomi yang blunder dan tidak efektif di masa pandemi covid 19 sekarang ini.
“Kita ketahui bersama bahwa kondisi ekonomi masyarakat dimasa pandemi corona ini tidak menentu, dimana semua lini kehidupan, baik pengusaha, petani, ojek online, buruh, pns merasakan dampak dari virus corona ini,” kata Sarif.
Sehingga, lanjut dia, kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan harus melihat kondisi atau kemampuan masyarakat akibat covid.
“Apakah dari kenaikan tarif ini masih sanggup masyarakat untuk memenuhi kewajiban membayar? Apakah kondisi ril masyarakat sudah dipelajari sebagai dasar kenaikan BPJS,” tutur Sarif.
Dan kalau tidak dilakukan, ujarnya, maka itu bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan undang-undang yang ada, karena harusnya negara melihat kemampuan masyarakat untuk membayarnya karena negara wajib melindungi dan menyediakan anggaran untuk kesehatan.
“Di tengah pandemi wabah covid 19 harusnya pemerintah menurunkan harga BBM bukan malah menaikan iuran BPJS, yang hanya akan membebani masyarakat,” imbuhnya.
Menurut Sarif, harga minyak dunia yang turun secara drastis seharusnya ini menjadi kesempatan pemerintah untuk menurunkan harga BBM.
“Tapi kenapa kita di Indonesia malah sibuk dgn urusan menaikan BPJS sementara harga BBM tidak turun?” tutur Sarif.
Dirinya berharap pemerintahan di bawah komando Joko Widodo bisa kembali ke jalan yang benar. (Daily08/ty)