– Sejumlah wartawan dari JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia) melontarkan pertanyaan kepada Ustad Abdul Somad (UAS) dalam acara Tausiah Nasional tentang Kode Etik Jurnalistik dalam Perpektif Islam, bertepatan di Hari Ulang Tahun (HUT) JMSI Pertama, Senin (8/2/2021).
Salah satu pertanyaan dan jawaban menarik yang berhasil dihimpun dailypost.id, yakni tentang Aib seseorang sebagaimana disebut dalam hadist Riwayat Muslim (HR Muslim) مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يوم القيامة (Man satara musliman satarahullaahu yaumal qiyamah yang Artinya: Siapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat dengan kegiatan jurnalistik yang kerab memberitakan tentang kesalahan-kesalahan seseorang, misalnya permasalahan hukum hingga dampak sosial politik yang meluas.
Menanggapi pertanyaan tersebut, UAS pun menjelaskan bahwa seorang jurnalis berhak memberitakan hal-hal yang berkaitan dengan aib seseorang selagi informasi tersebut bertujuan untuk menyelamatkan orang lain yang tidak bersalah.
“Ada statemen, ada hadits yang membuat sahabat-sahabat jurnalis untuk mengabarkan berita, yaitu Siapa yang menutup aib saudaranya maka Allah akan menutup dosa-dosanya pada hari kiamat. Ini kalo ditempel di kantor JMSI (atau kantor berita lain), nanti tidak ada lagi berita tentang orang korupsi, tentang kejahatan-kejahatan karena semuanya takut, karena kita semua punya dosa,” kata UAS.
Meluruskan pandangan mengenai hadist tersebut, UAS pun menjelaskan tentang Perbuatan Ulama dalam ilmu hadist Jarh wa Ta’dil.
“Seorang periwayat mengatakan, jangan terima riwayatnya (pembohong), jangan diterima riwayatnya (ini dajjal). Bahkan sampai digunakan kata dajjal. Jangan terima riwayat dia karena dia adalah penipu, dia adalah pendusta, jangan terima riwayat dia karena dia pernah mencuri hadist dan lain sebagainya,” urai UAS menjelaskan ilmu hadist Jarh wa Ta’dil yang begitu penting terhadap informasi tentang kejahatan yang pernah dilakukan seseorang.
“Kelihatannya ada kontradiksi antara Perbuatan Ulama dan Hadist? Apakah mungkin ulama ini melawan hadist? Tentu tidak mungkin! Lalu kontradiksikah perbuatan ulama dengan hadist tadi? Tidak!” tegas UAS.
Terkait Etika Jurnalistik dalam Perpektif Islam ini, lanjut UAS, dapat dipertimbangkan melalu konteksnya itu sendiri.
“Misalnya, ada seseorang, dia melakukan kejahatan, melakukan perbuatan dosa, lalu dia sudah dihukum dan dia sudah bertobat. Kemudian suatu hari diungkit lagi kejahatan (aib)nya dengan tujuan menjatuhkan, hanya untuk ribah menikmati, hanya nikmat membicarakan aib orang dibanding nikmat ketika ia makan dan minum maka itulah yang salah sebagaimana hadist ini,” jelas UAS.
“Jika kita bertujuan untuk menunjukan kebatilan orang yang batil, kejahatan orang yang jahat, menyelamatkan orang banyak, maka sesungguhnya itu dibenarkan dalam Islam! Makanya di dalam Al-Quran itu bercerita tentang kejahatan Firaun, kejahatan Namrud, kejahatan Abu Lahab dan kejahatan-kejahatan lain,” sambungnya.
UAS pun berharap, dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, media harus mampu memberitakan sesuai dengan
“Media menceritakan orang baik, supaya kebaikannya menyebar. Media menceritakan orang jahat, supaya orang baik tidak tertipu dengan kejahatan orang jahat itu. jadi, di situlah peran media. Jangan khawatir soal kotradiktif tadi, mari tunjukkanlah yang benar itu benar, yang baik itu memang benar baik, dan tunjukkanlah yang batil itu adalah batil. Demikian, Wallahu a’lam Bissawab,” tutur UAS.
Dengan penjelasannya, dapat disimpulkan bahwa Kode Etik Jurnalistik dalam Perpektif Islam tidak kontradiktif dengan Hadist selagi pemberitaan yang dihasilkan dari kerja-kerja jurnalistik tidak bertujuan menjatuhkan harkat dan martabat seseorang yang telah bertobat. (daily02/yt)
Selengkapnya, simak video berikut: