Opini– Pemerintah telah menetapkan anggaran sebesar Rp 71 triliun untuk mendukung program makan bergizi gratis (MBG) bagi anak-anak dan ibu hamil pada tahun mendatang. Dengan anggaran ini, setiap anak atau ibu hamil akan menerima makanan bergizi seharga Rp 10 ribu per porsi per hari.
Presiden menyampaikan bahwa sebenarnya pemerintah ingin menetapkan alokasi sebesar Rp 15 ribu per porsi. Namun, kondisi anggaran saat ini hanya memungkinkan nilai Rp 10 ribu per porsi.
“Kita hitung untuk daerah-daerah, Rp 10 ribu itu cukup bermutu dan bergizi,” ujar Presiden, dikutip dari Republika.co.id, Sabtu, 30 November 2024.
Penurunan anggaran program makan bergizi gratis (MBG) ini jelas membuat upaya memberikan asupan bergizi bagi anak-anak dan ibu hamil semakin jauh dari ekspektasi. Terlebih dengan harga Rp 10 ribu per porsi, rasanya sulit membayangkan makanan yang benar-benar memenuhi standar gizi, apalagi di tengah inflasi yang meroket dan harga bahan makanan yang terus melambung.
Keterbatasan anggaran semakin memperjelas bahwa negara belum benar-benar serius mengatasi masalah gizi bagi generasi mendatang. Lebih menyedihkan lagi, banyak proyek yang dicanangkan malah tak memberi manfaat nyata bagi rakyat. Sumber daya alam Indonesia misalnya, yang seharusnya menjadi kekuatan utama untuk mendongkrak ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternyata tidak dimanfaatkan dengan optimal. Namun, hari ini meskipun negara kaya akan sumber daya alam, upah yang diterima oleh sebagian besar pekerja masih sangat rendah, dan kondisi ini mencerminkan ketimpangan yang nyata.
Hal ini terlihat jelas dari standar upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan, yang sering kali tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Ketidakmerataan ini menunjukkan bahwa meskipun SDA melimpah, keuntungan dari kekayaan tersebut belum bisa dinikmati secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat.
Padahal, sesuai dengan UUD 1945, hasil kekayaan alam seharusnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, hal tersebut hanya sebatas janji kosong, bisa dianalogikan seperti menggantungkan harapan pada langit yang mendung—terlihat ada potensi, tetapi berakhir tanpa turunnya hujan.
Makanan bergizi jelas merupakan program yang sangat baik untuk masa depan, terutama dalam mencetak generasi yang sehat dan produktif. Namun, untuk benar-benar mewujudkan tujuan tersebut, semua elemen kehidupan harus terhubung dengan baik. Tidak hanya cukup dengan anggaran yang dialokasikan untuk menyediakan makanan bergizi, tetapi juga dengan memastikan bahwa sumber daya alam Indonesia, yang merupakan kekayaan terbesar negeri ini, benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.
Selama ini, banyak hasil alam yang dikuasai oleh pihak asing, sementara rakyat yang seharusnya menikmati manfaatnya justru hanya merasakan dampak negatifnya—limbah dan kerusakan lingkungan. Sementara yang meraih untung adalah segelintir orang, kelompok tertentu yang terus menerus memanfaatkan sumber daya tanpa memikirkan masa depan rakyat dan lingkungan.
Kadangkala, banyak dari kita merasa iri dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) di luar negeri yang terlihat lebih unggul. Namun, kita lupa bahwa mereka dapat mencapai hal itu karena mereka menuntut ilmu tanpa harus terbebani dengan rasa lapar yang mengganggu fokus juga terpebuhi gizi dari makanannya. Jadi, makanan bergizi bukan sekadar kebutuhan fisik, tetapi merupakan fondasi untuk masa depan yang lebih baik, khususnya bagi generasi penerus. Agar menjadi generasi yang kuat dan produktif, anak-anak membutuhkan asupan yang memadai sejak dini, agar tubuh dan pikiran mereka berkembang optimal.
Dalam perspektif Islam, kualitas SDM sangat diperhatikan, karena manusia adalah sumber daya terpenting untuk mewujudkan negara yang kuat. Negara yang mandiri hanya bisa tercapai jika setiap individu didukung untuk berkembang secara fisik, mental, dan spiritual. Oleh karena itu, memastikan akses terhadap makanan bergizi adalah langkah awal yang tak bisa ditunda dalam membangun masyarakat yang sehat, cerdas, dan siap menghadapi tantangan global.
Islam memandang negara sebagai raa’in, yang memiliki kewajiban untuk memastikan kesejahteraan hidup seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali. Tanggung jawab penguasa dalam memenuhi kebutuhan rakyat bukan hanya sekadar kewajiban administratif, tetapi merupakan amanah yang diberikan oleh Allah SWT. Negara harus hadir sebagai penjaga yang adil, melindungi dan memenuhi hak-hak setiap individu, tidak terbatas hanya pada kelompok tertentu seperti generasi muda, siswa, atau ibu hamil. Dalam perspektif Islam, kewajiban pemerintah untuk menjamin kehidupan yang sejahtera bagi rakyat adalah bentuk pengabdian kepada Allah yang harus dijalankan dengan penuh integritas dan keadilan.
Islam menetapkan standar kehidupan yang tinggi yang harus diwujudkan oleh negara, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Negara dalam Islam memiliki kapasitas untuk mewujudkan hal ini, karena sumber pemasukan yang dimiliki sangat beragam dan melimpah. Dengan pengelolaan yang baik, negara dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan mewujudkan kesejahteraan yang merata. Kekayaan alam, pajak, dan sektor-sektor lainnya dapat dimaksimalkan untuk memastikan bahwa standar hidup yang tinggi tersebut dapat tercapai bagi seluruh lapisan masyarakat.
(Penulis: Sandyakala)