Penulis: Hersal Febrian (Putra Daerah Tojo Una-Una)
OPINI – Tahun 2026 bukan sekadar tahun anggaran baru bagi Kabupaten Tojo Una-Una. Ia adalah indikator serius tentang seberapa siap daerah ini menghadapi kenyataan fiskal yang semakin ketat. Dalam Nota Keuangan RAPBD 2026, pendapatan hanya ditargetkan sebesar Rp1,033 triliun, sementara belanja daerah mencapai Rp1,047 triliun—menandakan defisit yang tidak kecil. Lebih mencemaskan lagi, 61 persen dari total belanja daerah terserap untuk belanja pegawai. Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah tanda bahaya.
APBD 2026: Ketika Ruang Fiskal Semakin Mengering
Dominasi belanja pegawai yang menembus 61 persen menunjukkan satu hal: ruang pembangunan daerah semakin sempit. Dengan beban setinggi itu, hanya tersisa kurang dari setengah APBD untuk membangun infrastruktur, memperbaiki layanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaannya: bagaimana mungkin visi besar Tojo Una-Una tentang pemerataan ekonomi, peningkatan kualitas SDM, dan pelayanan publik prima dapat diwujudkan jika ruang fiskalnya hampir habis sebelum pembangunan dimulai?
Pemerintah daerah memang menegaskan bahwa kondisi ini dipengaruhi oleh kebijakan efisiensi dari pusat. Itu benar. Namun apakah itu satu-satunya faktor? Tentu tidak.
Ketergantungan pada Pusat: Masalah Struktural yang Lama Dibiarkan
Berulang kali kita mendengar bahwa penyesuaian dana transfer pusat menjadi penyebab utama ketatnya fiskal daerah. Tetapi narasi ini hanya memotong cerita di permukaan.
Faktanya, Tojo Una-Una masih memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap transfer pusat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum menunjukkan performa signifikan, sehingga guncangan sedikit saja dalam kebijakan pusat langsung memukul kemampuan daerah. Ini bukan sekadar persoalan fiskal—ini adalah persoalan ketahanan daerah.
Jika PAD tidak diperkuat, Tojo Una-Una akan terus berada dalam lingkaran setan:
transfer turun → APBD tertekan → pembangunan stagnan → PAD tidak tumbuh → kembali bergantung pada pusat.
Belanja Pegawai Membengkak: Birokrasi Gemuk, Produktivitas Tipis
Belanja pegawai yang mencapai 61 persen adalah sinyal keras bahwa birokrasi daerah berada dalam posisi yang tidak efisien. Hal lain yang menjadi masalahnya adalah struktur birokrasi yang tidak ramping, tumpang tindih fungsi, dan minimnya inovasi dalam meningkatkan produktivitas aparatur.
Pemerintah daerah sendiri mengakui perlunya efisiensi di seluruh lini belanja dan penataan ulang birokrasi. Namun wacana efisiensi saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret:
- Evaluasi formasi dan kebutuhan riil pegawai,
- Optimalisasi kinerja berbasis output,
- Digitalisasi layanan publik untuk mengurangi beban operasional,
- Reorientasi anggaran dari belanja rutin menjadi belanja publik produktif.
Tanpa keberanian melakukan reformasi, beban belanja pegawai akan terus membesar dan membunuh ruang pembangunan.
Reformasi Anggaran: Jalan yang Tidak Populer, tetapi Harus Ditempuh
Kondisi fiskal 2026 harus dilihat sebagai momentum. Pemerintah daerah perlu mengambil langkah tidak populer, tetapi sangat penting:
- Rasionalisasi dan perampingan belanja yang tidak prioritas
Setiap rupiah belanja rutin harus ditinjau ulang. Tidak ada lagi ruang untuk program seremonial atau belanja yang tidak memberi dampak nyata.
- Optimalisasi PAD berbasis potensi lokal
Mulai dari sektor kelautan, perikanan, pertanian, hingga pariwisata—semuanya harus masuk radar sebagai sumber pendapatan yang bisa digarap lebih serius.
- Penataan ulang birokrasi agar lebih ramping dan produktif
Reformasi SDM adalah kunci untuk menekan belanja pegawai jangka panjang.
- Efisiensi lintas OPD dengan standar indikator kinerja yang jelas
Setiap OPD wajib menunjukkan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik.
2026: Tahun Ujian, Bukan Tahun Keluhan
Tojo Una-Una tidak membutuhkan lebih banyak alasan. Daerah ini membutuhkan solusi.
Dengan pendapatan Rp1,033 triliun, belanja Rp1,047 triliun, dan belanja pegawai sebesar 61 persen, jelas bahwa 2026 adalah tahun ujian besar bagi kepemimpinan daerah.
Akankah pemerintah daerah terus menyalahkan kebijakan pusat? Atau justru memanfaatkan momentum ini untuk membenahi struktur fiskal dan birokrasi?
Pilihan itu ada hari ini. Jika tidak diambil, visi Tojo Una-Una Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Tojo Una Una Yang Religius, Maju, Adil, Makmur Dan Sejahtera, Hebat(Bermartabat) Dan Berbudaya Kalaborasiakan terus menjadi slogan yang dibaca di podium, bukan realitas yang dirasakan rakyat.













