Penulis: Sintia Demolingo
Opini — Seorang santri nekat membakar gedung asrama pondok pesantren di Kuta Baro, Aceh Besar karena kesal mendapatkan perundungan dari teman-temannya. Pelaku saat ini sudah diamankan pihak kepolisian. “Pelaku mengaku telah mengalami tindakan bullying yang dilakukan oleh beberapa temannya, tindakan bullying yang dialami anak pelaku di antaranya anak pelaku sering dikatakan idiot,” kata Kapolresta Banda Aceh Kombes Joko Heri Purwono dilansir detikSumut, Jumat (7/11/2025). Dilansir dari Detik.news.
Dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menilai, insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta harus menjadi momentum bagi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk mengevaluasi sistem pencegahan dan penanganan perundungan di sekolah. Hal ini disampaikan Lalu Hadrian saat merespons adanya informasi bahwa terduga pelaku ledakan disebut sebagai korban bullying di sekolah. “Informasi yang kami dapat memang merupakan korban bullying, korban perundungan. Nah, kalau pun itu benar terjadi, maka kami sangat menyayangkan kejadian itu,” ujar Lalu saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (10/11/2025). Ia menyebut, peristiwa tersebut telah menunjukkan masih adanya kelemahan dalam sistem perlindungan siswa dan pencegahan kekerasan di sekolah. Dilansir dari KOMPAS.com.
Bullying serta Konsekuensi Buruk Dunia Maya
Kasus bullying dan dampak negatif media sosial kembali menjadi sorotan. Jika mencermati dua peristiwa tersebut, tampak jelas bahwa tindak kejahatan yang dilakukan para pelaku tidak bisa dianggap sepele. Dampaknya tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga menghilangkan nyawa. Lebih memprihatinkan lagi, para pelaku masih berusia remaja dan duduk di bangku sekolah. Mereka mengaku pernah menjadi korban bullying, dan tindakan itu dilakukan sebagai pelampiasan dendam.
Fenomena bullying memang sudah lama menjadi persoalan serius. Setiap tahun jumlah kejadiannya terus meningkat, termasuk di lingkungan pendidikan. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan, pada 2022 tercatat 194 kasus, dan pada 2024 jumlahnya naik menjadi 573 kasus. Itu pun yang terdata, belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan. Selain jumlahnya yang kian bertambah, tingkat kekerasannya pun semakin mengkhawatirkan. Sebelum dua kasus yang ramai belakangan ini, publik juga dihebohkan oleh maraknya korban bullying yang nekat mengakhiri hidupnya. Sepanjang 2025, setidaknya terdapat 25 kasus anak yang bunuh diri, sebagian dipicu oleh tindakan bullying. Ironisnya, tragedi demi tragedi tersebut tidak banyak memberikan efek jera. Pelaku bullying tetap tidak berubah. Bahkan pada kasus Timothy, mahasiswa UNUD yang meninggal karena dibully, kematiannya pun masih dijadikan bahan ejekan. Kondisi ini sungguh menyedihkan.
Tingginya angka bullying, khususnya di lingkungan sekolah, tentu tidak terjadi tanpa sebab. Banyak faktor yang terlibat, salah satunya adalah pengaruh kuat media sosial. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara intensitas penggunaan media sosial dengan munculnya perilaku bullying serta bentuk kekerasan lain di kalangan remaja. Hal ini cukup dapat dimengerti. Dengan kecanggihan fitur serta luasnya jangkauan, media sosial menjadi sarana penyebaran konten negatif yang mampu memengaruhi cara berpikir dan kondisi emosional para penggunanya, terutama remaja yang masih berada pada fase pencarian jati diri.
Situasi semakin kompleks ketika peran orang tua semakin melemah, struktur keluarga dan masyarakat kian rapuh, serta lembaga pendidikan mengalami disorientasi. Dalam keadaan seperti ini, media sosial seakan mengambil alih peran sebagai guru dan teman bagi remaja yang memiliki masalah sosial. Dari platform tersebut, mereka menyerap berbagai nilai seperti kebebasan tanpa batas, sikap permisif, kekerasan, dan gaya hidup hedonis. Nilai-nilai inilah yang muncul baik pada pelaku maupun korban bullying.
Contohnya terlihat pada kasus ledakan di SMAN 72. Pelaku diduga sering mengalami bullying dari teman-temannya. Ia dikenal tertutup dan senang menggambar hal-hal bernuansa ekstremisme serta gemar menonton video pertempuran. Diduga, dari media sosial ia mendapat inspirasi untuk membalas dendam dan mempelajari cara merakit bom. Tidak mengherankan jika pada senjata mainan yang ditemukan di lokasi terdapat coretan yang merujuk pada pelaku penembakan masjid di luar negeri seperti Brenton Tarrant, Luca Traini, dan Alexandre Bissonnette. Juga ditemukan simbol seperti “14 Words” dan “1189” yang sering dikaitkan dengan gerakan ekstrem kanan—indikasi kuat bahwa semua itu ia kenal melalui akses media sosial.
Potret Dunia Pendidikan yang Kian Mengkhawatirkan
Kasus bullying dan kekerasan yang marak terjadi semakin memperburuk citra dunia pendidikan. Fenomena ini menunjukkan kemerosotan moral remaja, mulai dari pergaulan bebas hingga perilaku hedonis dan tidak beradab. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan besar tentang kegagalan pendidikan dalam membentuk generasi berkarakter dan berakhlak.
Tujuan pendidikan yang tertulis dalam UU No. 20 Tahun 2003 tampak jauh dari kenyataan. Sistem pendidikan kini lebih menekankan aspek materi, terseret arus liberalisasi dan kapitalisasi, serta mengabaikan nilai spiritual, moral, dan kemanusiaan. Kurikulum seolah dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasar, bukan untuk menghasilkan pribadi bermartabat yang mampu membangun peradaban. Hal ini sangat terkait dengan asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, banyak individu berpengetahuan tinggi tetapi miskin adab dan moral. Sekularisme juga menguasai berbagai aspek kehidupan sehingga masyarakat semakin jauh dari nilai agama, sementara negara gagal menjalankan peran sebagai pelindung.
Di tengah kekacauan tersebut, pendidikan kehilangan fungsi hakikinya. Alih-alih melahirkan generasi unggul, pendidikan justru menjadi sarana yang membentuk manusia dengan pemikiran dangkal, mental rapuh, serta mudah dipengaruhi kepentingan luar, termasuk kepentingan kapitalis global.
Waktunya Umat Islam Bangkit Menyadari Kondisi
Kondisi generasi saat ini sejatinya tidak mencerminkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya. Padahal, Allah telah menetapkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dihadirkan bagi manusia, sebagaimana tercantum dalam surah Ali-Imran ayat 110. Sepanjang sejarah, umat Islam pun terbukti mampu memimpin peradaban yang gemilang selama berabad-abad, menjadi pionir dalam bidang moral, ilmu pengetahuan, serta kemajuan material. Semua itu terwujud karena kuatnya landasan keimanan yang mereka pegang.
Islam sebagai agama yang sempurna menghadirkan aturan yang mampu menjawab seluruh persoalan hidup, baik politik, ekonomi, sosial, hukum, maupun keamanan. Ketentuan-ketentuannya berlaku untuk semua masa dan seluruh manusia, bukan hanya untuk satu kelompok atau zaman tertentu. Salah satu aturan yang sangat menonjol adalah sistem pendidikannya, yang pelaksanaannya diperkuat oleh sistem lain seperti ekonomi, keuangan, media, serta hukum yang menjaga agar seluruh proses pendidikan berjalan dengan benar dan melahirkan pendidik yang unggul.
Pendidikan dalam perspektif Islam bertujuan membentuk manusia yang berkepribadian Islami serta memiliki kompetensi di berbagai bidang. Tujuan tersebut diterapkan melalui kurikulum dan metode pembelajaran yang tersusun rapi sehingga menghasilkan generasi yang mampu menjalankan fungsi penciptaan mereka sebagai hamba Allah dan pemakmur bumi. Keseluruhan aturan ini diterapkan secara konsisten oleh negara yang berdiri di atas akidah Islam, sehingga risalah Islam benar-benar tampil sebagai rahmat bagi seluruh alam dan mampu mewujudkan generasi terbaik.
Karena itu, umat Islam seharusnya menyadari bahwa sistem kehidupan saat ini tidak sesuai dengan identitas dan kebutuhan mereka. Sudah saatnya umat kembali memperjuangkan perubahan menuju sistem kepemimpinan Islam yang berlandaskan akidah, yaitu Khilafah. Rasulullah saw. juga telah memberikan contoh bagaimana perubahan tersebut dilakukan, yaitu melalui dakwah berjemaah untuk menumbuhkan kesadaran umat akan kewajiban menerapkan syariat secara menyeluruh sebagai konsekuensi keimanan.
Kembalinya Negara Islam (Khilafah) adalah sesuatu yang dijanjikan Allah dan akan terjadi. Namun, keberadaannya tidak akan terwujud tanpa upaya dan perjuangan. Justru melalui proses inilah Allah menguji siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang hanya sekadar mengaku beriman.
Wallahu’alam bishshawwab.














