Oleh: Samsi Pomalingo Tenaga pengajar di Universitas Negeri Gorontalo
Opini — Tulisan menarik yang berjudul “Tri Barbie, Lalu Bagaimana” yang dimuat dalam MimozaTV, ditulis oleh seorang sosiolog ternama di Gorontalo berasal dari Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, M.A. Tulisan ini menarik karena dari sekian banyak intelektual Gorontalo tak satupun merespon fenomena Tri Barbie yang akhir-akhir ini mendapat sorotan dari berbagai pihak. Ada kelompok masyarakat yang pro dan ada pula yang kontrak karena melihat “performance” Trio Barbie dianggap meresahkan. Pertanyaannya, apa benar meresahkan? Dianggap meresahkan karena dinilai “offer confident“ dalam penampilan yang dianggap tidak etis.
Nah tulisan ini bukan sebagai respon atas tulisan Dr. Funco Tanipu, melainkan sebagai keterpanggilan untuk melihat fenomena Trio Barbie dalam kajian studi budaya (cultural studie). Penulis tidak ingin terjebak dalam perspektif “hitam-putih”, atau karena Gorontalo sebagai “Serambi Madinah” (yang tidak jelas indikator dan akar historisitasnya). Apalagi sampai menghakimi Trio Barbie dengan labelisasi negatif, tapi seharusnya bagaimana kita bersikap secara arif dan bijaksana melihat dan membaca fenomena tersebut.
Fenomena Trio Berbie: Pendekatan Cultural Stuides
Fenomena Trio Barbie sebagai bagian dari Pop Culture atau budaya pop yang lahir dari globalisasi. Keberdaannya sama dengan Jappanesse Pop (J-POP), J-Rock, J-Hip Hop, K-POP, Hallyu atau Korean Wave dan kelompok musiknya lainnya yang berasal dari Jepang dan Korea. Walupun tidak sekelas musik pop dari Jepang dan Korea, namun Trio Barbie lahir sebagai respon terhadap warna musik di Gorontalo (Glokalisasi). Mungkin saja keberadaan Trio Berbie sama dengan J-Pop dan K-Pop yang secara tegas menolak globalisasi-Amerikanisasi, ini hanya sekedar asumsi. Bisa saja salah.
Globalisasi telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Hampir setiap negara di dunia saat ini pernah mengalami globalisasi. Korea Selatan, Amerika, Taiwan dan Jepang menjadi negara di dunia yang dapat memanfaatkan peluang dan peluang tersebut untuk memperkenalkan budayanya melalui globalisasi dan kemajuan teknologi.
Globalisasi juga tidak muncul secara tiba-tiba pada akhir abad ke-20, sebagai ancaman terhadap keragaman budaya yang disebabkan oleh kekuatan hegemoni modernitas yang didorong oleh pasar. Tekanan globalisasi selalu menghantui kita. Tidak mengherankan jika tidak ada hal baru di bawah matahari. Globalisasi telah terjadi sebelumnya. Misalnya saja Anak benua India telah menjadi penerima dan pemberi pengaruh internasional jauh sebelum Internet dan bursa saham mengikat kita semua dalam sebuah sistem intelektual, mungkin “pseudo-intelektual”, system ekonomi yang sering kali serakah, bersih atau bertautan. Gagasan World Wide Web adalah metafora modern untuk keterhubungan yang melekat pada semua makhluk hidup, roda Samsara terus berputar.
Tidak mengherankan jika India sudah selangkah lebih maju dalam bidang teknologi informasi dengan simbol-simbolnya yang tidak asing. Tak heran ada yang demam india (musik dan tariannya), apalagi dengan mega bintangnya Shah Rukh Khan dan Kajol yang menjadi idola para pecinta musik dan tarian india.
Budaya populer melambangkan globalisasi. Homogenisasi dan diversifikasi budaya merupakan hasil globalisasi. Homogenisasi budaya adalah akibat dari imperialisme budaya di mana negara-negara dominan memaksakan keyakinan, nilai-nilai dan perilaku mereka kepada negara lain. Sebaliknya, globalisasi akan membawa budaya yang terdiversifikasi karena menawarkan peluang pertukaran budaya yang dapat membantu meningkatkan toleransi dan keberagaman.
Globalisasi budaya dapat mengakibatkan globalisasi yang dibayar atas kepercayaan, nilai-nilai dan perilaku. Hal ini mencakup hilangnya warisan budaya asli, memori budaya, kedaulatan budaya nasional, dan identitas budaya. Ini yang terjadi pada fenomena Trio Barbie. Tapi harus diingat, Ronghua (2004) percaya bahwa diversifikasi budaya pada akhirnya akan mendorong kemajuan masyarakat secara keseluruhan, sementara Hu (2000) mendalilkan bahwa konservasi warisan budaya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, meningkatkan efektivitas upaya pembangunan dan meningkatkan kualitas hidup warga negara dan kewarganegaraan.
Gambaran singkat soal globalisasi dan budaya pop, sangat jelas “mengingatkan” kita akan kehidupan saat ini yang berbeda dengan kehidupan di masa lampau. Globalisasi merupakan gambaran masa depan, dimana oleh Samuel Hantington (1927-2008) menggambarkan sebagai gejala kehidupan yang penuh dengan ketidakteraturan atau clash of civilization. Budaya senantiasa dibentur-benturkan dengan agama, dimana agama dan budaya seringkali diletakan dalam kerangka Vis a Vis. Agama dianggap sebagai instrument absolut dalam melegitimasi benar salah. Seakan kebenaran absolut hanya menjadi milik tunggal agama.
Saat ini tak satupun negara atau masyarakat yang bisa menolak kehadiran globalisasi. Globalisasi jangan dilihat sebagai ancaman dalam kehidupan sosial atau agama. Globalisasi lahir sebagai “identitas” dari satu masyarakat modern dengan segala keunikannya. Salah satu keunikan itu ada pada kelompok musik Trio Berbie. Gelombang Korea dan Jepang dalam produksi musik popnya banyak memengaruhi masyarakat Asia terutama Indonesia. Masih ingat goyang gangnam style dari Korea Selatan tahun 2012, yang mampu menghipnotis kebanyakan masyarakat Indonesia.
Trio Berbie dan Resistensi Gaya Hidup
Fenomena Trio Barbie di Gorontalo tidak lepas dari perkembangan musik di tanah air. Mereka tampil dengan identitas yang dinilai sebagai representasi dari trans gender. Terlepas dari pro dan kontra, penampilan mereka sebagai bentuk dari “kebebasan berekspresi” dimana hal itu dilindungi oleh Undang-undang.
Walaupun disisi lain dianggap sebagai bentuk penyimpangan (sosial deviation). Tapi disisi lain hal ini dianggap sebagai gaya hidup (life style). Budaya atau gaya hidup bisa dibilang sebagai resistensi pada sesuatu yang biologis. Misalnya saat orang mulai memikirkan pelbagai varian baru seperti pola seksualnya, atau mungkin menyisipkan hal-hal spiritual disana, kemudia berkecenderungan untuk mengeksplorasi ruang kenikmatan, justru disanalah ia mulai brbudaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Trio Berbie dengan segala kontroversialnya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah resistensi masih dimungkinkan di abad kedua puluh satu saat ini, saat gaya hidup manusia sejak dari makan sampai seks ditentukan oleh biro-biro iklan sebagai perpanjangan tangka kekuatan kapital. Masih adakah ruang bagi kita untuk berefleksi dan melakukan resistensi terencana. Sekilah ini sulit untuk dilakukan. Apalagi Ketika ruang dan waktu kita disesaki oleh simulasi media yang melumpuhkan indra pembeda kita. Gaya hidup menyembunyikan apa yang sesungguhnya berupa akumulasi modal, paling tidak modal budaya dan simbolik.
Lagi-lagi kita diperhadapkan dengan pertanyaan kritis tentang sedemikian sempitkah ruang resistensi atas dominasi gaya hidup yang disokong oleh sturuktur kapital. Para intekektual dan teoretikus Brimingham seperti Richard Hoggart dan Stuart Hall memandang dominasi gaya hidup tidak pernah total. Budaya atau gaya hidup populer bukan ajang “dominasi” melainkan “kontestasi”. Apa yang dilakukan oleh Trio Berbie, dalam perspektif cultural studies (kajian budaya) sebagai bentuk kontestasi dalam produksi musik demi popularitas atas gaya hidup.
Fenomena Trio Berbie dengan performance yang dimilikinya bertujuan untuk membedakan diri, menunjukan sebuah pola konsumsi yang berdasarkan pada perlawanan terhadap arus mainstream. Pola konsumsi inilah yang dikenal dengan sebutan “alternatif”. Masyarakat Gorontalo sering disuguhkan dengan pola konsumsi musik yang menoton. Trio Berbie tampil beda dengan penampilan musik lainnya saat hajatan seperti pernikahan atau lainnya. Sangat jelas, apa yang dilakukan Trio Berbie sebagai perlawanan untuk menolak identifikasi yang sifatnya taken for granted pada identitas-identitas lainnya. Ungkapan “saya ada, maka saya bergaya”, sebagai pemaknaan diri melalui “identitas”. Mano Braco, Madam dan Kikan (Trio Berbie), menemukan identitas sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur kapitalisme global, namun tidak sadar, mereka justru terjerat oleh kaki tangan globalisasi.
Lalu, Bagaimana Menyikapinya?
Fenomena Trio Berbie harus dilihat sebagai identitas “pop culture” (budaya pop) yang tengah bersaing (kontestasi dan kompetisi) dengan penyanyi lainnya di Gorontalo. Alasan bahwa Gorontalo sebagai “Serambi Madinah” yang menjadi salah satu variable dari beberapa variable lainnya seperti system nilai yang dimiliki oleh Gorontalo, yang kemudian dijadikan sebagai instrument untuk menjudge (mengadili atau menghukumi) penampilan Tri Berbie bukan sesuatu yang keliru. Sebab hal itu diyakini sebagai modal sosial yang dijadikan sebagai postulat untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat. Namun harus dingat bahwa kita harus bijak dan merata dalam mengadili setiap yang dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Menghukumi Trio Berbie dengan kebencian, bullying, kekerasan verbal sebagai bentuk dari kekersan simbolik, juga tidak bisa diterima.
Dalam agama, pesan-pesan seperti ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna anil munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) merupakan pesan teologis yang harus dipahami secara sistematik. Perintah “ta’muruna bil ma’ruf” lebih didahulukan ketimbang “tanhauna anil munkar”. Ini mengandung makna bahwa menyeru kebajikan itu harus didahulukan, seperti menasehati atau mengarahkan seseorang untuk melakukan banyak kebajikan. Bukan sebaliknya mencegah kemungkaran dengan cara menghakimi, menghukumi, melakukan tindakan kekerasan (fisik dan verbal). Agama atau beragama tidak seperti itu. Menghakimi dan menghukumi atas sikap seseorang sebagai bentuk lemahnya intelektualitas dan spiritualitas seseorang. Bukan dengan cara itu, seyogyanya pendekatan humanistik harus digunakan dalam membaca dan menangani Trio Berbie. Memberikan penjelasan dan bimbingan akan lebih humanistik daripada membully mereka. Agama dan budaya kita tidak menghendaki praktik-praktik yang tidak manusiawi. Pendekatan humanistik merupakan perwujudan dari konsep “gala’a atau “motolongala’a” dalam masyarakat Gorontalo. Sebagai system nilai, harusnya ini menjadi referensi dalam menyelesaikan masalah, bukan dengan cara-cara yang justru menjauhkan Trio Berbie dari “gala’a. semoga.