Oleh : Devina Nurlatifa (Aktivis Muslimah)
Opini — Peraturan pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 mengenai perihal pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) menuai berbagai penolakan dari berbagai kalangan pekerja, baik pengusaha maupun buruh. Pasalnya, Tapera ini bukannya hanya diperuntukkan bagi PNS saja, tetapi di berlakukan juga bagi pegawai swasta dan mandiri dengan penghasilan UMR. Dengan adanya Tapera ini, gaji bulanan dari pekerja akan di potong sebesar 2,5% sedangkan pemberi kerja di potong sebesar 0,5% sehingga total potongan tiap bulan sebesar 3%.
Hal ini akan menambah beban rakyat, ditengah biaya hidup yang semakin meningkat, harga kebutuhan pokok semakin melejit, ditengah perekonomian rakyat yang semakin sulit dan dompet rakyat makin tipis. Belum lagi dengan banyak pemotongan gaji dengan beragam program seperti pemotongan untuk JHT (Jaminan Hari Tua) 2%, Jaminan pensiun 1%, Jaminan kematian 0,3%, BPJS Kesehatan 1%, pajak penghasilan 5%-35% ditambah dengan tapera 2,5% maka potongan tiap bulannya hingga mencapai 6,5% atau bahkan bisa lebih dari itu. Maka dengan penambahan potongan Tapera ini tentu akan memperkecil gaji yang akan mereka terima. Apalagi bagi pekerja yang berpenghasilan rendah, potongan ini akan terasa cukup signifikan dan bisa menjadi beban tambahan bagi mereka. Sehingga sangat wajar bila masyarakat mempertanyakan urgensi pemotongan tapera ini, bahkan menolaknya.
Apalagi pemotongan tapera ini sifatnya wajib bagi pekerja dan pemberi kerja. Jika tidak mau membayar iuran tapera maka akan diberikan sanksi. Ketentuan sanksi bagi peserta tidak membayar Tapera diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 2020. Yang lebih mirisnya pekerja yang sudah memiliki rumah akan tetap diwajibkan untuk menjadi peserta Tapera. Pemerintah mengklaim ini sebagai bentuk gotong royong masyarakat dan pengusaha dalam pemenuhan rumah rakyat bagi pekerja atau rakyat yang belum memiliki rumah. Lantas dimanakah tanggung jawab negara?
Wajah Asli Sistem Kapitalisme
Penolakan yang terus bergulir dari kalangan masyarakat menjadi hal yang sangat wajar dan memunculkan berbagai dugaan liar dari masyarakat. Masyarakat menilai Tapera berpotensi sebagai ladang korupsi sebagaimana kasus Asabri dan Jiwasraya. Hal ini dianggap juga sebagai sumber penghasilan sampingan pejabat pengurus Tapera, karena bergaji 30-40-an juta serta berbagai tunjangan dan insetif.
Inilah wajah asli pengelolaan negara dalam bingkai sistem Kapitalisme Sekuler. Negara hadir hanya sebagai wadah penguasa sebagai tuan dan menjadikan rakyat sebagai ladang bisnis meraih keuntungan bagi dirinya, keluarganya dan circlenya, bukan sebagai pelayan rakyat. Rakyat sebagai pembeli dan penguasa sebagai pembelinya. Maka kebijakan yang ada bukan memberi kemaslahatan bagi rakyat tapi menambah penderitaan rakyat, serta menjadi sarana mencari jabatan dan cuan belaka. Dalam sistem ini tolak ukurnya adalah untung rugi, bukan halal haram. Tak peduli haramnya riba, susahnya kehidupan rakyat, selagi kebijakan ini menghasilkan banyak cuan maka regulasi undang-undang ini akan diberlakukan.
Selain itu, program Tapera menjadi bukti lepas tangannya penguasa dari kewajiban memenuhi salah satu kebutuhan pokok rakyat yaitu papan. Kewajiban ini terkait Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 dimana bumi (dapat diartikan tanah) semestinya di kuasai negara dan diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka dalam hal ini, pemerintah bertanggungjawab menyediakan rumah bagi warga, bukan rakyat.
Pandangan Islam
Berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa pemimpin atau khalifah sebagai periayah (pengurus) rakyat atau pelayan rakyatnya bukan mengeruk keuntungan rakyat dengan berbagai program yang digulirkan. Maka pemimpin hadir untuk mengurus dan menjamin kehidupan rakyat agar terciptanya kehidupan yang sejahtera dan adil bagi seluruh rakyat. Rasulullah bersabda :
“Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan rakyat).” (HR. Bukhari)
Salah satu tanggung jawab pemerintah yakni menyediakan perumahan bagi rakyat, tanpa menarik iuran wajib. Semua itu ditanggung oleh negara bukan dananya dikumpul dari rakyat. Karena negara hadir bertugas memenuhi kebutuhan rakyat termasuk kebutuhan perumahan. Negara juga bisa memberikan kemudahan pembelian tanah dan bangunan, juga bisa membangun perumahan rakyat dengan harga yang terjangkau atau murah tanpa adanya riba. Bagi rakyat yang tidak mampu memiliki rumah, Negara akan membangunkan rumah secara gratis dilahan-lahan milik negara yang bertujuan untuk kemaslahatan kaum muslim.
Dalam segi pembiayaan, negara Islam mengambilnya dari BaitulMal yang bukan bersumber dari pajak dan utang luar negeri seperti halnya negara kapitalisme sekuler. Sumber Baitulmal bersumber dari pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki negara (kepemilikan umum) baik tambang, hutan dan laut, juga bersumber dari pos fa’I dan kharaj. Jika kas baitulmal benar-benar kosong maka akan ditarik pajak hanya bagi orang kaya saja dan sifatnya sementara.
Maka, sejatinya seorang pemimpin memberikan kenyamanan bagi rakyat dalam hal kebutuhan rumah, jangan sampai kebijakan yang ada malah menyusahkan rakyat sebagaimana sabda Nabi “Ya Allah, barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihanilah ia.” (HR. Muslim).
Demikianlah pengaturan terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi rakyat dan hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Wallahu’alam bi showab.