Penulis: Sintia Demolingo
Opini — Kasus mengonsumsi narkoba menjadi hangat disoroti dikalangan pelajar setelah di dapatkan Sebanyak 15 anak SMP di Surabaya dinyatakan positif mengonsumsi narkoba. Hal itu terungkap saat Badan Nasional Narkotika Provinsi (BNNP) Jawa Timur melakukan tes urine secara acak di Jalan Kunti, Kecamatan Semampir, Surabaya.
Jalan Kunti, selama ini dijuluki sebagai Kampung Narkoba di Surabaya. Di sana berjajar bedeng-bedeng kecil yang terbuat dari kayu beratapkan terpal. Tempat itu diduga kerap digunakan orang untuk transaksi narkoba hingga pesta sabu. (Dilansir dari CNN Indonesia)
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Polisi Marthinus Hukom mengungkapkan, 312 ribu anak usia remaja (15-25 tahun) di Indonesia terpapar narkotika. Angka prevalensi penyalahgunaan narkotika pada 2023 sebesar 1,73% atau setara 3,33 juta orang.
Fakta di atas menggambarkan bahwa pelajar yang seharusnya menjadi generasi penerus bagi bangunan peradaban mulia justru menunjukkan perilaku sebaliknya. narkoba bukan kasuistik, melainkan sudah menjadi fenomena karena hampir merata di setiap daerah dengan pelaku dari berbagai level usia. besarnya jumlah pengguna narkoba dari kalangan generasi muda membuat pemerintah mencanangkan visi dan misi pembangunan Indonesia yang dituangkan dalam program Asta Cita, salah satunya dengan memperkuat pencegahan dan pemberantasan narkotika di Indonesia. Namun, semua upaya belum mampu melindungi pelajar agar terbebas dari narkoba.
Bukti Lemahnya Konsep Pendidikan Sekuler
Banyaknya kasus kekerasan dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar tidak lepas dari sistem pendidikan yang berlaku, yang berlandaskan paradigma sekuler-materialistis. Sistem pendidikan ini merupakan bagian dari tatanan negara sekuler yang tidak menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Akibatnya, pendidikan gagal membentuk manusia yang utuh yakni hamba Allah yang saleh dan membawa perbaikan.
Kegagalan ini muncul dari dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang menjadikan sekularisme sebagai asas, sehingga tujuan pendidikan hanya menghasilkan pribadi yang materialistis dan individualistis. Kedua, lemahnya tiga unsur pelaksana pendidikan: lembaga formal, keluarga, dan masyarakat.
Di sekolah, kurikulum tidak memberi ruang bagi penguasaan tsaqafah Islam dan pembentukan kepribadian islami; guru berperan sebatas pengajar, bukan pendidik; dan lingkungan sekolah tidak mendukung pembinaan karakter. Di keluarga, orang tua kurang menanamkan dasar keislaman dan tidak memberi teladan yang baik. Sementara itu, masyarakat justru menampilkan budaya sekuler, pergaulan bebas, dan konten media yang sarat kekerasan, sehingga semakin menghambat pembentukan kepribadian islami pada peserta didik.
Hukuman Pelaku Narkoba
UU Narkotika Pasal 113 ayat (1) mengatur hukuman berat bagi pembuat dan pengedar narkoba golongan I, yakni penjara 5–15 tahun dan denda 1–10 miliar rupiah. Namun meski regulasi dan upaya aparat sudah berjalan, peredaran narkoba tetap masif. Salah satu sebabnya ialah sistem ekonomi kapitalistik yang memandang narkoba sebagai komoditas menguntungkan selama ada permintaan. Karena itu, meskipun merusak generasi, produksinya tetap berlangsung.
Remaja menjadi sasaran utama karena mudah dipengaruhi dan berpotensi menjadi pengguna jangka panjang. Banyak dari mereka dijebak dengan pemberian gratis hingga kecanduan dan akhirnya terlibat kriminalitas atau menjadi pengedar. Di sisi lain, hukum hanya menghukum pembuat dan pengedar, sementara pengguna tidak dipidana dan hanya direhabilitasi. Kebijakan ini melemahkan upaya pemberantasan narkoba. Semua kondisi tersebut menunjukkan bahwa sistem pendidikan kapitalistik tidak mampu membangun karakter pelajar dan gagal melindungi mereka dari ancaman narkoba.
Membina Remaja Butuh Tiga Pilar
Pendidikan Islam bersifat integral, melibatkan tiga unsur utama: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Ustadz Ismail Yusanto, pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, dan sistematis untuk mewujudkan manusia sebagai hamba dan khalifah Allah. Sistem pendidikan Islam mendapat masukan dari keluarga dan masyarakat, serta memberi output kembali ke masyarakat. Akan tetapi penerapan daripada tiga pilar ini membutuhkan peran sebuah sistem yang menerapkan Islam yakni Khilafah.
Syekh ‘Atha bin Khalil menekankan bahwa kurikulum pendidikan harus berlandaskan akidah Islam, dengan mata pelajaran dan metode yang sepenuhnya selaras dengan asas tersebut. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia berkepribadian Islami, menguasai tsaqofah Islam, dan menguasai ilmu kehidupan yang berguna. Dengan landasan akidah Islam, seorang muslim memiliki pijakan yang kokoh untuk berpikir, bertindak, dan berkontribusi pada peradaban.
Peran keluarga sangat vital sebagai lembaga pendidikan pertama. Orang tua menjadi sumber utama pengajaran nilai-nilai Islam, membentuk karakter, dan melindungi anak dari pengaruh negatif. Rasulullah saw. bersabda bahwa setiap anak lahir fitrah, dan orang tua lah yang membentuk keyakinannya. Pendidikan dalam keluarga menjadi pondasi kepribadian dan tata krama anak, yang Rasulullah anggap sebagai pemberian paling utama bagi anak.
Begitupun masyarakat pada hakikatnya juga merupakan proses pendidikan sepanjang hayat, khususnya berkenaan dengan praktik kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh sumber ilmu yang ada di masyarakat yakni tetangga, teman pergaulan, lingkungan, serta sistem nilai yang berjalan. Dalam sistem Islam, masyarakat merupakan salah satu elemen penting penyangga tegaknya sistem, selain ketakwaan individu dan keberadaan negara sebagai pelaksana syariat Islam. Masyarakat berperan mengawasi anggota masyarakat lain dan penguasa dalam pelaksanaan hukum syariat Islam.
Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan Islam yang mengikat mereka. Dengan konsep masyarakat seperti ini, amar makruf nahi mungkar menjadi bagian paling esensial di tengah masyarakat. Terlebih Rasulullah saw. mengingatkan, ”Perumpamaan orang yang berpegang dengan hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya itu bagaikan kaum yang sama-sama menaiki kapal, sebagian ada yang di atas dan sebagian ada yang di bawah, orang-orang yang berada di bawah apabila ingin mengambil air mereka mesti melalui orang-orang yang berada di atas, lalu orang-orang yang di bawah itu berkata, ‘Seandainya kita lubangi (kapal ini) untuk memenuhi kebutuhan kita maka kita tidak usah mengganggu orang-orang yang ada di atas kita!‘ Jika orang-orang yang di atas membiarkan kemauan orang yang di bawah, akan tenggelamlah semuanya, dan jika mereka menahan tangan orang-orang yang di bawah, akan selamat dan selamatlah semuanya.” (HR Bukhari).
Korelasi penerapan sistem pendidikan Islam oleh sistem Islam akan memberikan output suprasistem berupa keluarga dan masyarakat yang islami dan akan bersama-sama mewujudkan generasi unggul serta membentengi dari perbuatan-perbuatan yang akan membinasakannya, semisal tawuran atau jerat narkoba.
Begitupun dengan media, dalam Islam berperan sebagai sarana edukasi, pembinaan akhlak, dan penyebaran dakwah, bukan sekadar hiburan. Konten yang bertentangan dengan ajaran Islam, merusak moral, dan menampilkan kekerasan akan dicegah. Sedangkan media yang menumbuhkan keimanan, ketakwaan, dan kecintaan pada Islam akan didukung penuh. Ini sebagaimana tugas instansi Penerangan yang dijelaskan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam hlm. 117 yang menyebutkan, ”Instansi penerangan adalah direktorat yang menangani penetapan dan pelaksanaan politik penerangan Daulah demi kemaslahatan Islam dan kaum muslim. Di dalam negeri untuk membangun masyarakat islami yang kuat dan kukuh, menghilangkan keburukannya,….”
Di dalam Sistem Islam, barang haram seperti narkoba tidak dianggap sebagai barang ekonomi. Oleh sebab itu, narkoba tidak boleh diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan di tengah masyarakat. Aktivitas memproduksi, mengonsumsi, dan mendistribusikannya di tengah masyarakat dianggap sebagai bentuk kejahatan (jarimah) yang harus ditindak. Aturan ini akan mencegah narkoba beredar di tengah masyarakat.
Dengan demikian, jika ada yang memproduksi atau mengedarkan barang haram ini, Islam akan memberikan sanksi tegas. Syekh Abdurrahman al-Maliki dan Syekh Ahmad ad-Daur menyebutkan sanksi bagi kasus narkoba di dalam kitab Nizham al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat secara garis besar sebagai berikut. Siapa saja yang menggunakan narkoba, seperti ganja, heroin, dan sejenisnya, bisa dianggap pelaku kriminal. Ia akan dijatuhi sanksi cambuk, penjara hingga 15 tahun, dan denda. Masalah ini diserahkan kepada hakim. Siapa saja yang menjual, membeli, menyuling, mengangkut, atau mengumpulkan narkoba, seperti ganja, heroin, dan sejenisnya, akan dijatuhi sanksi cambuk, penjara hingga 15 tahun, dan denda sebesar harganya.
Dengan perlindungan Islam yang komprehensif ini, bisa disimpulkan bahwa hanya sistem Islam yang mampu melindungi generasi dari jerat narkoba, tindak kekerasan, serta keburukan lainnya. Jika bangsa ini ingin keluar dari problem generasi, sudah saatnya berupaya bersama mewujudkan kehidupan Islam di bawah naungan sistem Islam (Khilafah). Jika tidak, problem generasi akan terus terjadi. Wallahu’alam Bishowwab.














