DAILYPOST.ID, Opini: Bima Yudho Saputro, seorang pelajar warga negara Indonesia (WNI) asal Lampung di Australia baru-baru ini membagikan kisah kegaduhan yang terjadi usai video kritik mengenai kampung halamannya itu viral. Bima bercerita di akun instagram-nya @awbimax tentang dirinya yang dihubungi oleh kepolisian untuk dimintai keterangan bahwa ia benar-benar pelajar di luar negeri. Tak hanya itu, keluarganya juga diperiksa bahkan dipanggil oleh Bupati Lampung Timur Dawam Rahardjo atas apa yang dikomentarinya.
Di akun TikTok, Bima mengkritik Provinsi Lampung ‘Dajjal’ sebagai provinsi yang tertinggal karena melihat infrastruktur tertinggal dalam unggahan video berjudul “Alasan Lampung Gak Maju-maju”. Bima yang berasal dari Lampung mengkritik soal infrastruktur (jalan) yang banyak rusak, dan tidak laik untuk jalan. Menurut dia, dalam satu kilometer jalan rusak, satu kilometer lagi rusak. Selain itu, banyak jalan-jalan di Lampung yang tambal sulam. Padahal, menurutnya, infrastruktur khususnya jalan paling umum untuk mobilisasi ekonomi. “Tapi, jalan-jalan di Lampung tuh satu kilometer bagus, satu kilometer rusak,” ujar Bima.
Akibat kritikannya tersebut, advokat di Lampung, Gindha Ansori Wayka melaporkannya ke pihak kepolisian atas tuntutan menyebar berita hoaks tentang Lampung. Dalam keteranganya, Ginda mengatakan, alasan pelaporannya adalah penggunaan diksi ‘dajjal. “Silakan kritik tapi pilihan katanya (diksinya) harus dipilih agar tidak salah,” kata Gindha dalam keterangan yang diterima, Rabu (12/4/2023). (Republika, 15/4/2023)
Fakta
Mengutip Detik (16-4-2023), dalam Peraturan Gubernur Lampung No. 38/2022 Pasal 16 bagian (d), Pemprov Lampung hanya menganggarkan dana senilai Rp72,44 miliar untuk pemeliharaan jalan. Padahal, dalam Pasal 8 Pergub yang sama, dijelaskan bahwa anggaran belanja daerah tahun anggaran 2023 provinsi Lampung direncanakan sebesar Rp7,38 triliun.
Artinya, Pemprov Lampung hanya mengalokasikan 0,98% anggaran untuk keperluan perbaikan jalan. Itu pun tidak sepenuhnya digunakan untuk pemeliharaan jalan saja, melainkan juga digunakan untuk pemeliharaan jaringan dan irigasi.
Di sisi lain, Pemprov Lampung mengalokasikan sebagian besar anggaran belanjanya untuk keperluan operasional pegawai yang direncanakan senilai Rp2,14 triliun. Artinya, pada 2023, Pemprov Lampung mampu menganggarkan Rp2,14 triliun untuk gaji dan tunjangan PNS-DPRD atau setara 29,05% dari total belanja daerah mereka. Sedangkan dana untuk perbaikan jalan hanya dialokasikan sebanyak Rp72,44 miliar.
Melihat fakta ini, wajar bila ada masyarakat yang mempertanyakan alokasi anggaran yang sebenarnya ada dimana. Apalagi dengan melihat fakta di lapangan yang tidak sesuai dengan ekspektasi dan besaran dana yang dianggarkan.
Antikritik
Setelah viral video kritik Bima mengenai infrastruktur Lampung, pemerintah langsung bergerak cepat melakukan perbaikan jalan. Sayangnya juga diikuti dengan ancaman, intervensi dan intimidasi terhadap Bima dan keluarganya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebebasan berpendapat tidak lagi eksis sebagai akibat dari disahkannya UU ITE tahun 2008 silam. Hal ini membuat ruang gerak masyarakat dalam memberi kritik dan masukan menjadi sangat terbatas.
Pada akhirnya, UU ITE seolah menjadi alat bungkam yang efektif menjerat siapa pun yang menyinggung dan mengkritik pemerintah, sekalipun kritiknya sesuai data dan fakta. Kalaulah tidak sampai pada pelaporan, para pengkritik akan dihujani serangan verbal hingga personal. Ujung-ujungnya, si pelapor dituduh macam-macam, semisal penghasut, provokator, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan sebagainya.
Bukankah hal ini bentuk antikritik rezim terhadap masyarakat?
Kritik dalam Pandangan Islam
Islam mengajarkan aktivitas muhasabah (mengoreksi kesalahan) sesama muslim. Pahalanya sangat besar di sisi Allah. Kritik merupakan kewajiban untuk setiap muslim yang terwujud dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Aktivitas inilah yang menjadikan umat Islam mendapat gelar umat terbaik.
Aktivitas amar makruf nahi mungkar yang terbesar ialah mengoreksi kebijakan penguasa yang zalim terhadap rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Pemimpin dalam Islam tidak antikritik. Rakyat boleh mengkritik penguasa secara langsung sebagaimana kisah seorang perempuan yang mengkritik kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab ra. terkait pembatasan mahar bagi perempuan.
Dalam Islam ada struktur negara yang dikenal dengan Majelis Umat. Di Majelis Umat, rakyat bebas menyampaikan kritik dan masukan tanpa takut mendapat ancaman ataupun penolakan. Kewenangan Majelis Umat terbatas pada mengoreksi kebijakan penguasa, mengontrol jalannya pemerintahan, dan memberi masukan pada penguasa serta pejabat negara.
Islam juga memberikan keteladanan terhadap seorang pemimpin dalam menanggapi kritik atas kebijakannya. Sebagaimana sikap Khalifah Umar yang lebih senang dikritik daripada dipuji. Beliau mengatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, luruskan aku walaupun dengan pedang.” Begitu pula dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang legawa menerima kritik dari putranya sendiri lantaran ingin beristirahat sejenak sementara masih banyak urusan rakyat menanti untuk diurus.
Pemimpin dalam Islam tidak akan merasa terganggu saat dikritik oleh rakyat, sebab dengan itulah ia akan terhindar dari sikap dzalim. Pemimpin akan lebih mawas diri dalam memberi kebijakan sebab ini tak hanya dipertanggungjawabkan di depan umat, namun di hadapan Allah swt. kelak sebagai amanah.
Wallahualam..