https://wa.wizard.id/003a1b

Menempatkan Kewenangan Jalan Secara Tepat

Riski Kakilo
(Ir. Rahmat Libunelo,S.T, M.T/Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Kabupaten Gorontalo) (Foto: Ist).
sa shop gorontalo

Penulis: Ir. Rahmat Libunelo,S.T, M.T/Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Kabupaten Gorontalo

DAILYPOST.ID Opini – Pekan ini publik Gorontalo diramaikan oleh pernyataan Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, yang menghimbau serta mempersilakan masyarakat untuk berjualan di Jalan eks Andalas dan Jalan HOS Cokroaminoto di kawasan Tanggaidaa. Alasannya, kedua ruas jalan tersebut berada dalam wilayah administratif Kota Gorontalo sehingga dianggap sebagai kewenangan pemerintah kota, bukan pemerintah provinsi.

Namun, pandangan tersebut menunjukkan adanya kekeliruan mendasar dalam memahami konsep pengelolaan dan pemanfaatan jalan. Kewenangan terhadap suatu ruas jalan tidak ditentukan oleh batas wilayah administratif, melainkan oleh status dan fungsi jalan sebagaimana telah diatur dalam regulasi teknis. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Perencanaan Teknis Jalan, serta dipertegas dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan, pengelolaan jalan diatur secara eksplisit untuk melindungi keselamatan pengguna jalan—baik pejalan kaki, pesepeda, maupun pengguna kendaraan pribadi dan umum.

Aturan tersebut juga menegaskan bahwa pejabat teknis yang bertanggung jawab atas pengelolaan jalan ditetapkan sesuai hirarki dan status jalan. Misalnya, untuk jalan nasional, kewenangan berada di tangan Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN), sedangkan untuk jalan provinsi dan kota memiliki instansi teknis masing-masing.

Dengan demikian, ruang milik jalan (Rumija) memiliki karakter pengelolaan yang eksklusif dan teknokratis, karena menyangkut fungsi vital jalan sebagai sarana mobilitas dan keselamatan pengguna. Pemanfaatan jalan tidak dapat serta-merta dijadikan bagian dari strategi atau kebijakan daerah tanpa mempertimbangkan klasifikasi dan fungsi teknis jalan tersebut.

Sebagai contoh, Jalan eks Andalas dikategorikan sebagai jalan arteri kelas I di dalam kota, dengan kecepatan rencana maksimum 60 km/jam. Ketika area di atas trotoar atau ruang milik jalan digunakan untuk aktivitas berdagang, hal ini akan memicu hambatan samping—pengendara berhenti atau parkir di badan jalan—sehingga fungsi utama jalan sebagai prasarana transportasi cepat dan aman menjadi terganggu. Kondisi ini bukan hanya menurunkan tingkat pelayanan jalan, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan bagi pengguna jalan, pedagang, maupun konsumen yang beraktivitas di tepi jalan, akibat berkurangnya jarak pandang dan gangguan pada aliran lalu lintas.

Karena itu, Wali Kota perlu menyusun kebijakan yang pro rakyat tanpa mengorbankan keselamatan pengguna jalan. Penataan dan pemanfaatan ruang jalan harus kembali berlandaskan pada prinsip keselamatan, kelancaran lalu lintas, serta kepatuhan terhadap regulasi teknis, bukan semata didorong oleh pertimbangan politis atau kebijakan populis. Setiap kepala daerah perlu memahami secara cermat kerangka regulasi sebelum mengeluarkan imbauan atau keputusan publik yang berpotensi bertentangan dengan prinsip keselamatan dan tata kelola jalan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Share:   
Korek Api Keren Touch Screen
Exit mobile version