sa shop gorontalo

Bumi Sesak Oleh Sampah, Oleh Sistem yang Gagap

Editor: Febrianti Husain

DAILYPOST.ID Opini– Berjalan menyusuri trotoar, membuat saya tertegun bukan karena keindahan kota atau hiruk-pikuk manusia, melainkan oleh pemandangan yang sudah terlalu akrab: tumpukan sampah menggunung di sudut jalan, berserakan tanpa malu di pinggir selokan. Plastik kresek menari ditiup angin, botol-botol kosong terguling, seolah-olah jalanan ini tempat pembuangan akhir yang sah. Ironisnya, ini bukan kejadian langka—hampir setiap sudut yang saya lalui memperlihatkan potret serupa.

Sebagai seorang pewarta jelas terlintas untuk meliput warna warni plastik yang begitu akrab dengan netra ini. Namun, masih pantaskah persoalan ini diangkat? Hampir semua media sudah pernah membahasnya, bahkan berkali-kali menghiasi headline.

https://wa.wizard.id/003a1b

Data terbaru menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2024, dari 282 kabupaten/kota yang melaporkan, total timbulan sampah mencapai 29,96 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, 60,82% (sekitar 18,22 juta ton) telah terkelola, sementara 39,18% (sekitar 11,74 juta ton) belum terkelola dengan baik.

Komposisi sampah di Indonesia didominasi oleh sisa makanan (41,60%) dan sampah plastik (18,71%). Sumber utama sampah berasal dari rumah tangga, menyumbang sekitar 44,37% dari total timbulan sampah. Sumber: PPID Menlhk

Sementara itu pada tahun 2024, timbulan sampah di Kota Gorontalo mencapai 142 ton per hari. Namun, data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Gorontalo pada Januari 2025 menunjukkan peningkatan signifikan, dengan produksi sampah mencapai 170 hingga 180 ton per hari. Gopos 24/2/2025)

Permasalahan sampah di Gorontalo bukan sekadar tumpukan sisa konsumsi yang tercecer di sudut-sudut kota. Ia adalah persoalan struktural yang pelik, di mana setiap aspek—mulai dari sumber daya manusia, alat, hingga kesadaran masyarakat—berkelindan, saling terkait, namun nyaris di semua lini compang-camping.

Bayangkan, 170 hingga 180 ton sampah dihasilkan setiap hari di Kota Gorontalo. Angka yang melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang “hanya” 142 ton per hari. Tapi apa daya, kapasitas pengangkutan justru stagnan. DLH memang punya 53 armada pengangkut, tapi sebagian besar sudah renta, sering ngadat di tengah jalan.  Ironisnya, di balik tumpukan itu, hanya ada segelintir petugas yang berjibaku. Di salah satu TPS3R, dua orang pekerja dipaksa mengatasi puluhan ton sampah dengan mesin yang lebih sering ngambek daripada beroperasi normal.

Baca Juga:   Meramal Masa Depan Clubhouse di Indonesia

Namun, menyalahkan petugas saja tak adil. Masyarakat sendiri masih abai. Sampah rumah tangga yang jadi penyumbang terbesar—37% dari total timbulan—dibuang sembarangan tanpa dipilah. Sisa makanan, plastik, hingga limbah berbahaya dicampur aduk, membuat upaya daur ulang di TPS3R tak ubahnya mimpi di siang bolong. Bahkan pasar dan perkantoran, yang seharusnya bisa lebih tertib, ikut menyumbang masalah.

Di sinilah letak rumitnya: SDM minim, armada tua, kesadaran rendah—semuanya saling tarik-menarik, membentuk lingkaran setan yang seakan mustahil diputus. Masyarakat tak memilah sampahnya, TPS3R kewalahan, pengangkutan macet, dan akhirnya sampah pun menggunung. Apa yang tersisa? Bau menyengat, pemandangan kumuh, dan keresahan yang terus berulang.

Pertanyaannya, berapa kali lagi masalah ini harus diangkat? karena solusinya—jika itu bisa disebut solusi—selalu sama: edukasi masyarakat, perbaiki armada, tambah petugas. Tapi bertahun-tahun berlalu, hasilnya? Sampah tetap di situ.

Masalah ini tak bisa diselesaikan dengan tambal sulam. Ia butuh reformasi menyeluruh—bukan sekadar ajakan memilah sampah atau seremonial bersih-bersih yang hanya bersifat kosmetik. Tanpa keberanian untuk membongkar akar persoalan dan membenahi semua lini, sampah akan terus menjadi potret kegagalan kita bersama. Padahal, jika solusi yang sama terus diulang tanpa ada perubahan nyata, bukankah itu justru alasan mengapa isu ini perlu terus disorot? Atau, barangkali kita semua—pemerintah, media, dan masyarakat—sudah terlalu lelah untuk peduli?

Persoalan sampah di negeri ini bukan semata soal kesadaran masyarakat yang masih rendah atau perilaku abai yang terus berulang. Lebih dari itu, ada akar persoalan yang sering luput dari sorotan: minimnya anggaran pengelolaan sampah. Tumpukan sampah yang menjamur di sudut-sudut kota adalah potret telanjang dari kebijakan yang setengah hati.

Mohamad Bijaksana Junerosano, CEO dan founder Waste4Change, menyebutkan bahwa tidak adanya panduan yang jelas turut memperburuk pengelolaan sampah. Namun, di balik kekacauan itu, anggaran yang cekak membuat upaya penanganan hanya berjalan di tempat. Mesin pengolah sampah dibiarkan rusak tanpa perbaikan, armada pengangkut sudah renta, dan petugas kebersihan terpaksa bekerja dengan fasilitas yang seadanya. Bagaimana mungkin masalah sebesar ini dihadapi dengan sumber daya yang begitu minim?

Baca Juga:   Korupsi terus terjadi, butuh solusi tuntas

Upaya edukasi kepada masyarakat memang penting, sebagaimana disarankan Dandy Laksono: ada level kultural yang harus dibenahi. Masyarakat didorong untuk mengurangi konsumsi plastik. Namun, tanpa dukungan anggaran yang memadai, sebatas ajakan tak cukup. Edukasi akan kehilangan taring jika pemerintah tak mampu menyediakan infrastruktur pendukung seperti tempat sampah terpilah yang memadai atau fasilitas daur ulang yang berfungsi optimal.

Penegakan hukum yang tegas pun sulit terwujud jika anggaran pengawasan serba terbatas. Banyak aturan soal sampah hanya berhenti di atas kertas. Sementara itu, produksi sampah terus meningkat, armada pengangkut terbatas, dan TPA semakin penuh. Apakah negara akan terus membiarkan ini menjadi bom waktu? Jika pemerintah terus berkilah dengan dalih keterbatasan dana, lalu ke mana prioritas anggaran sebenarnya diarahkan? Sampah bukan sekadar urusan kebersihan, tapi soal kesehatan, lingkungan, dan kualitas hidup. Mengabaikannya sama saja dengan menggadaikan masa depan.

Solusi limbah plastik dan sampah secara umum tidak cukup diserahkan pada individu. Negara harus hadir, serius, dan berani mengalokasikan anggaran yang layak. Jika tidak, tumpukan sampah itu akan terus menjadi cermin kegagalan kebijakan—terlihat, tercium, dan dirasakan oleh semua, namun dibiarkan begitu saja. Sampai kapan?

Dalam sistem Islam, persoalan sampah tidak sekadar dipandang sebagai urusan teknis atau tanggung jawab individu semata, melainkan bagian dari amanah yang harus dijaga oleh setiap lapisan masyarakat dengan dukungan penuh dari negara. Negara seharusnya berperan sebagai ra’in (pengurus rakyat) yang berkewajiban memenuhi kebutuhan warganya, termasuk dalam hal pengelolaan sampah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” Negara tidak akan lepas tangan atau hanya menyerahkan persoalan ini kepada swasta, melainkan hadir secara aktif dengan alokasi anggaran yang memadai dari Baitul Mal. Pendanaan ini bersumber dari pemasukan tetap seperti fai’, kharaj, hasil pengelolaan sumber daya alam, serta pos-pos pemasukan lain yang ditetapkan syariat. Dengan mekanisme ini, alasan “keterbatasan dana” tak lagi relevan, karena Islam menempatkan kebutuhan rakyat sebagai prioritas utama, bukan proyek-proyek yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Baca Juga:   Bencana alam terjadi lagi, butuh mitigasi yang tepat

Di sisi lain, kesadaran masyarakat dibangun secara sistemik dan berakar pada akidah. Pendidikan mengenai kebersihan dan tanggung jawab lingkungan ditanamkan sejak dini melalui kurikulum berbasis Islam, khutbah di masjid, dan media yang dikelola negara. Masyarakat dididik bahwa menjaga kebersihan bukan sekadar norma sosial, melainkan bagian dari keimanan.

Sistem Islam juga tidak berhenti pada pengelolaan sampah yang sudah ada, tetapi fokus pada pencegahan produksi sampah berlebihan. Barang-barang sekali pakai yang merusak lingkungan akan dibatasi, sementara industri didorong untuk beralih ke produk ramah lingkungan. Perdagangan barang yang berdampak buruk bagi alam dapat dilarang jika terbukti menimbulkan mudharat bagi masyarakat. Semua kebijakan ini berjalan dalam satu kesatuan sistem yang saling berkelindan: negara serius mengurus, masyarakat sadar dan patuh, lingkungan pun terjaga.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang sering menjadikan sampah sebagai komoditas  tanpa solusi mendasar, Islam hadir dengan pendekatan holistik—menyentuh akar persoalan dari hulu ke hilir. Negara tidak menunggu sampai sampah menumpuk untuk bertindak, karena pencegahan dalam Islam lebih utama daripada penanganan yang terlambat. Dengan sistem ini, tak ada lagi alasan anggaran minim atau kebijakan setengah hati. Negara dan rakyat bersinergi dalam kesadaran yang dilandasi iman untuk menjaga bumi sebagai amanah dari Allah. Jika pemerintah sungguh ingin menuntaskan persoalan sampah, bukankah sudah saatnya mempertimbangkan sistem yang sahih dan menyeluruh seperti yang ditawarkan Islam?

(Penulis: Sandyakala)

 

 

 

Share:   

FOLLOW US ON FACEBOOK
FOLLOW US ON INSTAGRAM
FOLLOW US ON TIKTOK
@dailypost.id
ekakraf multimedia