Penulis: Sandyakala | Mahasiswa
Opini — Politik dinasti diduga masih kental melekat pada DPR periode 2024-2029. Sejumlah anggota DPR terpilih diketahui memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan pejabat publik, elite politik, hingga sesama anggota DPR terpilih lainnya (Tirto.id, 2 Oktober 2024).
Menurut laporan Kumparannews, anggota DPR RI periode 2024-2029 tidak akan mendapatkan fasilitas rumah dinas. Sebagai gantinya, mereka akan diberikan tunjangan perumahan.
BBC News Indonesia (1 Oktober 2024) melaporkan bahwa pemberian tunjangan perumahan kepada 580 anggota DPR baru yang mencapai Rp50 juta per bulan per orang menuai kritik dari lembaga pengawas parlemen, karena dianggap “tidak ada urgensinya dan hanya menambah beban anggaran negara.”
Kentalnya Aroma Politik Dinasti
Anggota DPR seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan kebijakan, menyalurkan aspirasi serta menyusun undang-undang demi kepentingan umum. Namun, realita yang terhampar di hadapan kita hari ini berbicara lain. Alih-alih fokus pada kepentingan rakyat, sejumlah anggota dewan justru terjerat dalam lingkaran politik dinasti dan kepentingan pribadi. Hubungan kekerabatan yang kental di antara mereka, baik dengan elite politik maupun pejabat publik, menciptakan jaringan kekuasaan yang sulit ditembus dan rawan konflik kepentingan.
Fenomena politik dinasti yang mencengkeram DPR bukan lagi sekadar desas-desus. DPR yang seharusnya menjadi representasi rakyat, kerap kali berfungsi lebih sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan keluarga atau kelompok tertentu. Bayangkan, bagaimana bisa kebijakan yang lahir dari ruang-ruang parlemen itu benar-benar netral dan memihak rakyat, jika aturan yang dibuat mungkin saja disusun oleh mereka yang memiliki agenda tersembunyi untuk memperkaya diri dan keluarga?
Lebih parahnya, praktik ini seolah dibiarkan tumbuh subur tanpa hambatan berarti. Alih-alih fokus menyelesaikan isu-isu krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kita justru dihadapkan pada fakta bahwa beberapa anggota DPR lebih sibuk mengamankan posisi dan privilese mereka. Kritik terhadap pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan kepada anggota DPR, di saat rakyat sedang kesulitan ekonomi, menunjukkan betapa jauhnya jarak antara para wakil ini dan rakyat yang katanya mereka layani. Bagaimana bisa, ketika rakyat terhimpit oleh kenaikan harga-harga, mereka justru menikmati fasilitas mewah dengan anggaran negara?
Konflik kepentingan yang terjadi di dalam tubuh legislatif inilah yang perlahan-lahan menggerus kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi kita.
Gemuruh Koalisi
Dalam sistem demokrasi, keberadaan oposisi adalah salah satu pilar penting untuk memastikan adanya kontrol dan keseimbangan kekuasaan. Namun, hari ini kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan—hilangnya oposisi yang kuat dalam parlemen. Semua partai politik, yang seharusnya berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, kini malah bersatu dalam satu barisan koalisi.
Pertanyaannya, jika semua berada di pihak kekuasaan, siapa yang benar-benar berpihak pada rakyat?
Koalisi besar ini menciptakan kekuatan politik yang tak terkendali, di mana kritik menjadi barang langka. Realitas ini semakin memperlihatkan bahwa parlemen, yang seharusnya menjadi tempat aspirasi rakyat diperjuangkan, kini lebih mirip sebagai alat politik para elite. Rakyat bukan lagi prioritas; mereka hanya dijadikan latar belakang bagi permainan kekuasaan. Tindakan legislatif yang seharusnya mendahulukan kepentingan rakyat kini lebih banyak diarahkan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok elite. Semua ini semakin memperlihatkan betapa rapuhnya sistem yang kita anggap demokratis.
Lebih parahnya lagi, oligarki—segelintir orang yang menguasai ekonomi dan politik—bermain di balik layar, mengendalikan arah kebijakan negara.
Kepentingan mereka jauh lebih dominan daripada kepentingan rakyat banyak. Ketika keputusan-keputusan penting dibuat, rakyat sering kali hanya menjadi penonton belaka, sementara elite politik dan oligarki berpesta pora.
Suara-suara yang menyerukan keadilan sosial, penurunan biaya hidup, perbaikan layanan publik, dan pemutusan rantai korupsi tenggelam di tengah gemuruh koalisi besar yang mengedepankan stabilitas politik—stabilitas yang, pada kenyataannya, hanya menguntungkan mereka yang berkuasa. Tidak ada oposisi yang berani menantang, tidak ada kelompok yang benar-benar mengadvokasi perubahan yang mendasar untuk rakyat.
Parlemen, yang seharusnya menjadi tempat suara mereka menggema, kini menjadi medan untuk memperjuangkan kepentingan kelompok elite. Jika situasi ini terus berlanjut, kita hanya akan menyaksikan demokrasi yang semu—di mana semua pihak terlihat satu suara, tapi bukan untuk rakyat, melainkan untuk diri mereka sendiri.
Penyakit Kronis Demokrasi
Politik transaksional telah menjadi salah satu penyakit kronis dalam sistem hari ini. Di atas kertas, wakil rakyat dipilih karena kemampuan, integritas, dan visi yang seharusnya merepresentasikan suara serta kebutuhan rakyat. Namun, kenyataannya berbicara lain. Proses pemilihan semakin dikuasai oleh praktik transaksional, di mana kekayaan dan kekuasaan menjadi faktor utama dalam menentukan siapa yang akan menduduki kursi legislatif, bukan lagi kapasitas atau kapabelnya seorang wakil dalam mengurusi masalah rakyat.
Dalam mekanisme politik transaksional, kandidat yang mampu mengeluarkan uang lebih banyak untuk kampanye, yang punya akses ke jejaring elite, atau bahkan yang memegang jabatan strategis sebelumnya, lebih diutamakan. Janji-janji perbaikan nasib rakyat pun sering hanya menjadi slogan kosong yang dilontarkan selama masa kampanye. Tabir di balik layar justru jauh lebih kelam—transaksi politik antara calon wakil rakyat dengan pemodal, penguasa, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Dalam praktik ini, politik menjadi sebuah pasar, di mana posisi kekuasaan diperjualbelikan. Mereka yang punya uang, pengaruh, dan koneksi lebih besar punya peluang lebih baik untuk mendapatkan dukungan partai maupun suara rakyat, meskipun kemampuan mereka untuk memimpin dan berkontribusi bagi rakyat sangat diragukan. Hal ini menciptakan situasi di mana rakyat pada akhirnya diwakili oleh mereka yang tidak benar-benar paham atau peduli dengan kebutuhan rakyat, melainkan oleh mereka yang sekadar mengejar kepentingan pribadi atau kelompok.
Salah satu bentuk nyata dari politik transaksional adalah politic money yang kerap terjadi selama masa pemilu. Kampanye politik lebih mirip ajang transaksi, di mana kandidat menghabiskan dana besar untuk membeli dukungan dalam bentuk bantuan materi, janji proyek, atau bahkan serangan langsung dalam bentuk kampanye hitam terhadap lawan. Akibatnya, fokus kandidat berubah, dari melayani rakyat menjadi mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan saat kampanye, sering kali melalui cara-cara yang mengorbankan kepentingan rakyat itu sendiri.
Lebih mengkhawatirkan lagi, politik transaksional ini membentuk lingkaran setan. Mereka yang berhasil naik ke tampuk kekuasaan melalui praktik semacam ini sering kali merasa perlu menjaga hubungan dengan para pemodal dan elite politik yang telah mendukung mereka. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil pun cenderung berpihak pada kelompok tertentu, bukan pada rakyat luas. Sebuah undang-undang atau keputusan penting lebih sering dilihat dari potensi keuntungan pribadi atau kelompok ketimbang dampak jangka panjang bagi masyarakat.
Rakyat, sebagai pihak yang paling terdampak, justru menjadi korban dari sistem ini. Mereka dijanjikan perubahan, kemajuan, dan kesejahteraan, namun apa yang mereka dapatkan. Pembangunan yang tidak merata, ketimpangan ekonomi yang semakin lebar, serta korupsi yang mengakar adalah buah dari politik transaksional yang perlahan memusnahkan sendi-sendi demokrasi itu sendiri.
Pemimpin Dalam Islam
Jelas, hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam yang menawarkan model perwakilan rakyat yang lebih bersih dari kepentingan transaksional. Dalam Islam, ada Majelis Ummah, sebuah lembaga yang berfungsi sebagai wakil umat, dipilih langsung oleh rakyat untuk mewakili aspirasi dan kebutuhan mereka. Namun, peran Majelis Ummah dalam sistem ini sangat spesifik dan jauh dari apa yang kita saksikan dalam sistem hari ini—di mana wakil rakyat tidak terlibat dalam permainan kekuasaan dan kepentingan pribadi.
Sistem Islam dengan Majelis Ummah memastikan bahwa para wakil rakyat dipilih bukan karena kekayaan atau jabatan, melainkan karena integritas, moralitas, dan kemampuan mereka untuk menyuarakan kepentingan umat. Mereka dipilih sebagai representasi yang jujur, bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilih mereka, dan takut dihisab akan amanahnya.
Tidak ada ruang untuk politik transaksional, karena posisi ini bukanlah tentang kekuasaan atau keuntungan pribadi, melainkan tentang amanah dari Allah yang nanti akan dipertanggung jawabkan.
Perbedaan mencolok lainnya adalah bahwa Majelis Ummah tidak memiliki wewenang untuk membuat hukum atau aturan. Dalam sistem Islam, hukum atau syariah sudah berasal dari sumber yang tetap dan tidak bisa diubah, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tugas Majelis Ummah bukanlah untuk membuat undang-undang baru yang bisa diwarnai oleh kepentingan kelompok atau elite tertentu, melainkan untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada Khalifah atau pemimpin negara. Mereka mengawasi pelaksanaan kebijakan agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dan kebutuhan umat, tanpa ada godaan untuk memodifikasi aturan demi kepentingan pribadi.
Selain itu Wakil-wakil di Majelis Ummah tidak bekerja untuk memperkaya diri atau menjaga kekuasaan. Mereka tidak terikat oleh pemodal, korporasi, atau elite politik yang memberikan donasi dalam kampanye. Mereka murni mewakili suara umat, dan fokusnya adalah pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan keuntungan kelompok tertentu.
Sistem ini juga secara tegas menutup celah bagi politik dinasti dan oligarki. Tidak ada ruang bagi seseorang untuk mendapatkan posisi hanya karena hubungan keluarga atau jabatan. Pemimpin diangkat berdasarkan kapasitas dan komitmen mereka untuk menegakkan syariah, bukan berdasarkan siapa mereka kenal atau seberapa kaya mereka. Ini memastikan bahwa kepemimpinan di dalam Islam adalah murni amanah yang didasarkan pada kemampuan melayani rakyat dan ketaatan pada hukum Allah.
Di dalam Islam, kekuasaan bukanlah alat untuk mencari keuntungan pribadi. Para pemimpin, termasuk wakil rakyat di Majelis Ummah, dipandang sebagai pelayan umat yang tugas utamanya adalah menegakkan keadilan, menyebarkan kesejahteraan, dan memastikan bahwa semua kebijakan berpihak pada kepentingan bersama, bukan kepentingan individu atau kelompok. Tidak ada tempat untuk politik transaksional, karena amanah yang diemban dalam Islam adalah tanggung jawab besar di hadapan Allah dan manusia.
Wallahualam bishawab