Oleh : Eka Sandri Yusuf
“Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum Kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?”
-Ir. Soekarno
Kalimat dari presiden pertama kita ini tentu sangat pantas untuk disematkan pada realita yang sedang terjadi di negeri ini. Menjelang Natal dan tahun baru (Nataru) harga mayoritas pangan telah mengalami kenaikan. Berdasarkan data yang dikutip dari situs Panel Harga Badan Pangan Nasional, Rabu (14/12/2022), bahwa harga beras premium telah naik 0,23 persen atau Rp12.930 per kilogram (kg). Harga kedelai naik 0,34 persen menjadi Rp14.780 per kg. Selanjutnya, harga bawang merah naik 0,91 persen jadi Rp35.310 per kg, sedangkan harga bawang putih naik 0,70 persen menjadi Rp25.720 per kg. Harga daging sapi murni naik 0,23 persen jadi Rp134.560 per kg dan harga minyak goreng kemasan sederhana naik 0,28 persen jadi Rp17.180 per kg. Harga tepung terigu naik 0,27 persen jadi Rp11.090 per kg, minyak goreng curah naik 0,14 persen jadi Rp14.340 per kg. Selanjutnya, harga gula konsumsi naik 0,21 persen jadi Rp14.300 per kg, cabai merah keriting naik 0,36 persen jadi Rp36.400 per kg.
Kenaikan harga bukanlah menjadi hal yang asing lagi terjadi pada negeri ini, yang senantiasa terjadi setiap tahun dengan siklus sama yaitu menjelang natal dan akhir tahun. Padahal, pangan adalah kebutuhan pokok utama masyarakat. Seharusnya, siklus yang meresahkan warga ini mampu dihilangkan negara dengan menyediakan pasokan yang memadai dan menghilangkan semua distorsi pasar. Harga yang terus naik semakin mencekik masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Jika harga tak terkendali seperti ini, kredibilitas pemerintah akan dipertanyakan. Karena terlihat tidak mampu menyelesaikan permasalahan dasar yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutama untuk masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah menunjukkan sikap tidak serius dengan melakukan pembiaran akan kondisi harga pangan yang terus meningkat.
Harga Tidak Stabil Buah dari Kebijakan Kapitalis Neoliberal
Jika ditelisik, gejolak harga pangan disebabkan oleh tiga faktor. Faktor pertama adalah cuaca dan iklim yang semakin tidak terprediksi. Faktor ini menjadi penyebab munculnya faktor kedua, yaitu hambatan logistik, karena cuaca buruk bukan hanya mengakibatkan gagal panen, tetapi juga menghambat penyaluran komoditas di pasar. Faktor ketiga adalah distribusi yang panjang, inilah yang menjadi fokus KPPU, karena diduga menjadi penyebab harga yang tidak simetris. (merdeka.com, 16/4/2021).
Namun demikian, menurut pengamat kebijakan pangan, Emilda Tanjung, permasalahan utama pertanian yang berimbas pada gejolak harga pangan adalah penerapan sistem ekonomi yang kapitalistik neoliberal. Sistem inilah yang menjadikan peran negara dibuat seminimal mungkin, sehingga kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak pro rakyat dan cenderung berpihak pada korporasi. Ketiga faktor di atas adalah masalah teknis yang bersumber dari masalah utama. Seperti apa yang disampaikan pengamat kebijakan publik, Rini Syafri, bahwa faktor terbesar yang menyebabkan cuaca dan iklim tidak stabil adalah kegiatan korporasi seperti penambangan dan penebangan hutan. Kebebasan kepemilikan yang menjadi aturan dalam sistem ini menjadikan korporasi bebas melakukan apa pun, tak peduli merugikan rakyat dan merusak lingkungan. Sehingga, jika tidak ada kerusakan lingkungan oleh aktivitas korporasi yang dilegalisasi, masalah cuaca dan iklim (yang merupakan masalah dunia) akan teratasi. Dari sini pula permasalahan gagal panen dan terhambatnya penyaluran komoditas akibat cuaca dan iklim bisa selesai. Faktor ketiga pun—yaitu panjangnya distribusi—akan selesai manakala pemerintah tidak hanya bertindak sebagai regulator semata, tapi sebagai pengurus umat yang harus memastikan bahwa pangan sampai pada umat per individu. Maka, wajar saja problem pangan tak berkesudahan, lantaran negara memosisikan diri sebagai regulator, sedangkan operatornya adalah korporasi. Ini menyebabkan terciptanya kapitalisasi korporasi pangan yang semakin menggurita dan tak terkendali. Mulai dari kepemilikan lahan, penguasaan rantai produksi distribusi, hingga kendali harga pangan, semua dikuasai korporasi.
Di satu sisi pemerintah selalu mengatakan ingin memajukan UMKM dan mengentaskan masyarakat miskin. Bahkan tahun 2024 menjadi target program ‘zero’ kemiskinan ekstrim. Tetapi kondisi tersebut sulit tercapai ketika harga pangan terus dibiarkan naik karena akan menggerus daya beli.
Solusi islam dalam mengatasi siklus kenaikan harga yang terus berulang
Mekanisme pasar dalam Islam adalah kemampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhannya. Islam mengatur keberadaan pasar, tidak boleh ada yang dirugikan di antara penjual ataupun pembeli. Maka, peran produsen, konsumen maupun pemerintah di pasar sangat diperlukan untuk menyamakan pemahaman tentang harga. Jika hal itu dapat terwujud maka mekanisme pasar yang sesuai konsep syariat Islam akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Pertama, Islam mengharamkan bagi berbagai pihak, seperti para mafia, pedagang dan lain sebagainya membuat persekongkolan yang bertujuan mengatur dan mengendalikan harga suatu produk. Misalnya, dengan menimbun stok ataupun membuat kesepakatan harga jual yang akhirnya menzalimi masyarakat. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak” (HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani).
Kedua, operasi pasar. Baitulmal akan bertindak sebagai penjaga harga di pasar dengan operasi pasar. Ketika terjadi panen raya, suplai yang melimpah akan menyebabkan harga mengalami penurunan (deflasi). Maka, pemerintah cukup memborong barang-barang tersebut dengan harga yang mendekati harga pasar, kemudian menyimpannya di gudang Baitulmal. Pemborongan oleh pemerintah ditujukan untuk persediaan ketika nanti memasuki musim paceklik, yang mengakibatkan terjadinya kenaikan harga (inflasi). Pemerintah dapat melepaskannya agar suplai bertambah. Sehingga, harga tidak terlalu tinggi dan pihak produsen juga tidak terlalu dirugikan.
Ketiga, tidak perlu ada pungutan pajak. Pemerintah dalam sistem ekonomi Islam tidak perlu memungut berbagai pajak beserta turunan-turunannya. Misalnya pajak penjualan (PPn), pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, pajak impor, pajak ekspor, bea materai, dan lain-lain yang memberatkan pelaku pasar.
Sungguh, peran negara yang dominan dan berpihak pada umat akan membuat rakyat sejahtera. Sebab, negara telah menjamin kebutuhan pokok rakyatnya. Negaralah yang secara langsung mengatur SDA berlimpah yang dimiliki negara. Sekaligus melakukan pengawasan jalannya distribusi kekayaan. Dengan ini, negara mampu menjamin setiap hak-hak warga terpenuhi. Dengan pembagian kepemilikan ekonomi secara benar inilah yang akan menjamin APBN negara tetap stabil, meskipun di tengah musibah baik, pandemic maupun resesi.