Penulis: Sandy Kala | Mahasiswa
Opini — Pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Republik Indonesia, sebanyak 1.750 narapidana di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendapatkan remisi, dengan 48 di antaranya langsung bebas (tempo.co, 18/8/24). Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nunukan, Kalimantan Utara, 1.107 narapidana menerima remisi HUT RI, dan 12 orang langsung bebas (kompas.com, 17/8/24).
Sebanyak 20 narapidana kasus korupsi yang ditahan di Rutan Kelas IIB Mamuju juga memperoleh remisi dalam rangka peringatan HUT RI ke-79, menurut rri.co (18/8/24). Sementara itu, di Gorontalo, remisi diberikan kepada 701 narapidana di lima lapas: Lapas Kota Gorontalo, Lapas Boalemo, Lapas Pohuwato, Lapas Perempuan, dan Lapas Khusus Anak. Bahkan, 18 orang narapidana di antaranya dinyatakan bebas dan bisa kembali berbaur dengan masyarakat.
Kadivpas Kanwil Kemenkumham Gorontalo juga mengatakan ada 47 narapidana tindak pidana korupsi yang juga menerima remisi, yakni mereka yang sudah memenuhi ketentuan, termasuk telah membayar denda (Kompas TV, 18/8/24).
Remisi Bukan untuk Rehabilitasi
Remisi seperti ini rutin diberikan kepada narapidana setiap tahunnya, terutama saat perayaan kemerdekaan dan hari-hari besar keagamaan. Hari raya yang dijadikan acuan untuk pemberian remisi meliputi Idul Fitri bagi umat Islam, Natal untuk umat Kristen Protestan dan Katolik, Nyepi bagi umat Hindu, dan Waisak untuk umat Buddha. Konon kebijakan ini bertujuan untuk memberikan apresiasi atas perilaku baik narapidana selama menjalani masa hukuman.
Dikutip dari ditjenpas.go.id, ada enam manfaat dari kebijakan pemberian remisi. Pada poin kelima, kebijakan pemberian remisi merupakan salah satu cara untuk mengurangi over kapasitas di dalam Lapas atau Rutan. Terakhir disebutkan, kebijakan pemberian remisi juga akan menghemat anggaran biaya makan narapidana dan anak pidana.
Mirisnya, remisi yang diberikan kepada para narapidana sering kali didorong oleh alasan pragmatis seperti mengatasi overload di Lapas dan menghemat anggaran, bukan karena pertimbangan keadilan atau rehabilitasi yang sesungguhnya. Kebijakan ini menunjukkan betapa pendeknya pandangan para pengambil keputusan yang lebih mementingkan solusi instan daripada upaya nyata dalam mencegah kejahatan. Alih-alih memperbaiki sistem hukum yang lemah dan rentan korupsi, mereka justru memilih jalan pintas yang hanya memperburuk situasi.
Remisi yang dijadikan alat untuk mengurangi beban negara adalah pengakuan terselubung atas ketidakmampuan sistem dalam menangani akar permasalahan kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah cenderung menyelesaikan masalah pada permukaannya saja, tanpa berupaya untuk menggali dan memberantas akar kejahatan itu sendiri. Ini mencerminkan pendekatan yang reaktif dan pragmatis, yang hanya memperpanjang siklus kejahatan daripada menghentikannya secara tuntas. Pada akhirnya, malah membuka pintu bagi pelaku kriminal untuk kembali beraksi, sementara korban kejahatan dan masyarakat dibiarkan merasa tidak aman.
Bukti Gagalnya Sistem Hari Ini
Rizanizarli, selaku ahli bagian pidana, mengatakan bahwa penerapan sanksi bagi narapidana dan tahanan masih tidak sesuai. Terbukti, setiap tahun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan narapidana dan tahanan terus meningkat sehingga tidak menimbulkan efek jera. Pelanggaran itu juga terjadi karena over kapasitas, kurangnya pembinaan, dan kurangnya petugas pengamanan.
Sistem sanksi yang tidak menimbulkan efek jera ini merupakan bagian dari sistem pidana yang bermasalah. Sistem pidana kita, yang diwarisi dari hukum Belanda melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), adalah buatan manusia. Meskipun KUHP telah diperbarui dengan UU 1/2023, esensinya sebagai produk manusia tetap tidak berubah. Karena buatan manusia, sistem pidana ini bersifat tidak mutlak, mudah diubah, dan rentan terhadap penyalahgunaan.
Akibat minimnya efek jera dari sanksi bagi pelaku kejahatan, kita kini menyaksikan bentuk kejahatan yang semakin beragam, kejam, dan mengerikan. Dulu, pembunuhan dilakukan dengan cara konvensional, namun kini kasus pemutilasian korban semakin umum. Kriminalitas juga semakin mengkhawatirkan, dan kejahatan seksual semakin parah. Sistem sanksi yang tidak efektif ini menghilangkan rasa takut dari pelaku kejahatan, sehingga mereka berani melakukan tindakan kriminal yang lebih ekstrem.
Maraknya penjahat juga menggambarkan lemahnya kepribadian individu dan ini erat kaitannya dengan kegagalan sistem pendidikan. Pendidikan di Indonesia saat ini lebih didominasi oleh kapitalisasi dan komersialisasi. Selain itu, penerapan aturan hidup yang sekuler, materialistis, hedonis, permisif, dan konsumtif telah menyebabkan individu merasa bebas bertindak sesuka hati. Bersekolah kini sering kali hanya dianggap sebagai cara mengisi waktu luang, tanpa adanya semangat keimanan dan lamanya menuntut ilmu. Tidak mengherankan jika generasi yang dihasilkan bukanlah pribadi-pribadi unggul dan berbudi luhur.
Selain itu, ketimpangan dalam sistem pendidikan semakin diperparah oleh kondisi sistem sanksi dan hukum yang kacau. Hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas menunjukkan bahwa hukum hanya berpihak kepada yang kuat, baik itu yang kuat secara ekonomi, jabatan, maupun melalui koneksi atau hubungan politik. Fenomena ini juga menegaskan bahwa hukum begitu mudah diperjualbelikan.
Tidak lupa slogan “hukum bisa dibeli”, dengan adanya kekuatan finansial, narapidana dapat membeli kemewahan dan bahkan kebebasan di dalam penjara. Hukuman mereka bisa dikurangi secara signifikan dalam waktu singkat, membuat masa hukuman menjadi jauh lebih pendek daripada keputusan pengadilan. Dalam situasi ini, bagaimana kita bisa mengharapkan keadilan dan keamanan ketika sistem pidana yang ada justru memungkinkan hal semacam itu? Akibatnya, kejahatan semakin marak.
Pemberian remisi kepada ribuan narapidana mencerminkan bagaimana sistem pemasyarakatan yang terus melonggarkan hukuman, tidak hanya menyebabkan lonjakan jumlah narapidana yang bebas, tetapi juga menggarisbawahi kegagalan sistem hukum dalam memberikan efek jera. Ketika sistem hukum tidak menjerakan, mengakibatkan banyak terjadi kejahatan, bahkan makin lama makin beragam. Ketika penjara-penjara di berbagai daerah mengalami overload dan remisi diberikan dengan mudah, situasi ini memperkuat pandangan bahwa hukum hari ini sangatlah lemah dan hanya memperparah masalah kriminalitas yang semakin beragam di Indonesia.
Ini menggambarkan kekurangan dari sistem pidana yang dibuat oleh manusia, di mana pelaku kejahatan sering kali mendapatkan hukuman yang ringan. Sementara itu, ajaran Allah Swt. menekankan bahwa pelaku kejahatan harus dihukum dengan cara yang membuat mereka benar-benar jera. Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa berbuat kebaikan, mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan, dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).” (QS Al-An’am: 160).
Solusi Fundamental
Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan solusi yang lebih efektif dalam menangani narapidana, daripada hanya memberikan remisi. Kejahatan adalah pelanggaran serius yang tidak boleh ditoleransi, kecuali jika pelakunya telah menerima hukuman yang setimpal dan menunjukkan tobat nasuha yang tulus.
Akar masalah dari krisis generasi pelaku kriminal terletak pada ketiadaan landasan yang benar, terutama dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan sekuler saat ini hanya berfokus pada pencapaian prestasi akademik dan orientasi bekerja, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada penanaman adab dan pembentukan kepribadian luhur. Pendidikan agama Islam di sekolah atau kampus pun diajarkan secara minimal.
Sebaliknya, sistem pendidikan Islam memiliki tujuan yang jelas, yaitu mencetak generasi dengan kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiah). Sistem ini membentuk pola pikir dan pola sikap peserta didik agar perilaku mereka selalu sesuai dan terikat dengan hukum syariat. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam adalah alat penting untuk menghasilkan individu dengan ketakwaan yang tinggi. Dengan bekal takwa ini, mereka dibimbing untuk menjadi pribadi yang peka terhadap dakwah dan penyebaran pemikiran Islam.
Selain itu, individu juga membutuhkan lingkungan tempat tinggal yang nyaman dengan masyarakat yang kondusif. Masyarakat tersebut harus memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang semuanya bersumber dari syariat Islam, termasuk dalam interaksi sosial mereka. Kondisi ini membuat aktivitas amar makruf nahi munkar menjadi hal yang biasa. Mereka tidak akan bersikap individual
is karena mereka memahami bahwa mendiamkan kemaksiatan sama dengan menjadisetan bisu. Sebaliknya, masyarakat Islam sangat kondusif untuk menghasilkan orang-orang yang terikat dengan syariat Islam secara menyeluruh.
Aspek penting terakhir dalam mengatasi kejahatan dan masalah narapidana adalah penerapan sistem sanksi dan hukum yang tegas oleh negara, yaitu Khilafah. Sistem sanksi dalam Islam tidak memandang bulu; ia adil dan tidak mengenal kompromi, apalagi jual beli hukum. Dalam hal ini, remisi jelas bukan solusi yang hakiki.
Namun, jika masalah ekonomi menjadi alasan seseorang melakukan kejahatan, Khilafah memiliki kewajiban untuk menyelidiki secara menyeluruh dan memastikan distribusi kekayaan di antara warganya. Jangan sampai ada warga yang terpaksa melakukan tindakan kriminal karena kemiskinan. Dalam situasi seperti ini, pemimpin harus introspeksi diri terkait tanggung jawabnya dalam memelihara umat.
Selain itu, prinsip ketegasan dan keadilan dalam sistem sanksi Islam memastikan penerapan hukum yang jauh dari fenomena tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Urwah bin Zubair ra., yang mengatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena ketika orang-orang terpandang mencuri, mereka dibiarkan. Namun, ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka dikenakan hukuman had. Demi Zat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR Bukhari Muslim).
Waullahualam bishawab