Peringkat MTQ dan Kegagalan Pembinaan Keagamaan di Sijunjung

Oleh: Budi Warman, S.P
Ketua Umum HMI Cabang Sijunjung

Hasil Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Provinsi Sumatera Barat tahun 2025 yang menempatkan Kabupaten Sijunjung di papan bawah bukanlah sekadar catatan prestasi lomba. Bagi saya, hasil ini merupakan potret nyata kegagalan kebijakan Pemerintah Daerah dalam membina kehidupan keagamaan secara serius, terencana, dan berkelanjutan.

Rekomendasi Produk TikTokShop

Promo Kursi Gaming

Rp5xx.xxx

Belanja Aman di Sini

Kursi Kerja Ergonomis

Rp3xx.xxx

Belanja Aman di Sini

Meja Kerja/Gaming

Rp2xx.xxx

Belanja Aman di Sini

Meja Kerja/Gaming

Rp2xx.xxx

Belanja Aman di Sini

Selama ini, prestasi keagamaan di Sijunjung cenderung diperlakukan sebagai agenda seremonial tahunan, bukan sebagai indikator penting kualitas pembangunan manusia. Pemerintah Daerah belum menunjukkan keseriusan dalam membangun sistem pembinaan yang terstruktur dan berorientasi jangka panjang. Akibatnya, MTQ kehilangan makna substansial dan hanya menjadi rutinitas formal tanpa dampak nyata bagi pembinaan generasi Qur’ani.

Baca Juga:   Hitungan Mundur Menuju Pilkada Tojo Una-Una: Saatnya Menentukan Arah Perubahan

Ironi semakin terasa ketika Sijunjung memiliki ratusan masjid dan surau yang tersebar di nagari-nagari. Namun, sebagian besar rumah ibadah tersebut belum difungsikan secara optimal sebagai pusat pembinaan Al-Qur’an, kaderisasi qari dan qariah, serta penguatan nilai keislaman. Masjid dan surau lebih sering hadir sebagai simbol fisik, sementara fungsi edukatif dan pembinaan berjenjang nyaris diabaikan. Ini bukan soal kekurangan fasilitas, melainkan kegagalan tata kelola dan visi pembangunan keagamaan.

Pemerintah Daerah tidak seharusnya terus berlindung di balik alasan keterbatasan anggaran atau menyalahkan individu peserta MTQ. Kafilah adalah produk dari sistem pembinaan yang dibentuk oleh kebijakan pemerintah. Ketika pembinaan dibiarkan tanpa arah yang jelas, tanpa standar mutu, dan tanpa keberpihakan anggaran yang tegas, maka hasil buruk adalah konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari.

Baca Juga:   Ribuan Tenaga Honorer Dirumahkan, Harapan Sejahtera Kian Terhapuskan?

Saya melihat belum adanya kesungguhan untuk menjadikan hasil MTQ sebagai bahan evaluasi kebijakan yang serius. Yang muncul justru sikap normatif dan defensif, seolah prestasi rendah adalah hal yang wajar. Sikap ini mencerminkan krisis kepemimpinan kebijakan, di mana kegagalan tidak dijadikan momentum perbaikan, melainkan dibiarkan berulang.

Jika kondisi ini terus berlangsung, maka dampaknya tidak hanya terlihat pada peringkat MTQ, tetapi juga pada kualitas moral, intelektual, dan spiritual generasi muda Sijunjung. Pemerintah Daerah harus berhenti mengelola urusan keagamaan dengan pendekatan simbolik dan mulai membangun sistem pembinaan yang nyata, konsisten, dan bertanggung jawab.

Baca Juga:   Maraknya Hubungan Sedarah dalam Sistem Sekuler Kapitalisme

Pembangunan daerah sejatinya bertumpu pada kualitas manusia. Peringkat MTQ hari ini adalah alarm keras bagi Sijunjung. Mengabaikannya berarti secara sadar membiarkan kegagalan yang sama terulang di masa depan.

Share:   
https://wa.wizard.id/003a1b

FOLLOW US ON FACEBOOK
FOLLOW US ON INSTAGRAM
FOLLOW US ON TIKTOK
@dailypost.id
ekakraf multimedia