Selamat Hari Anak Nasional: Maaf, Negara Tak Sempat Melindungimu

Riski Kakilo
(Foto: Ilustrasi)

Oleh: Sandyakala

DAILYPOST.ID Opini – Tahun ini, Hari Anak Nasional kembali digelar dengan gegap gempita. Namun, di balik panggung perayaan itu, kenyataan yang terhampar sungguh memilukan. Data demi data mengungkapkan bahwa anak-anak di negeri ini justru hidup dalam bayang-bayang ancaman.

Rekomendasi Produk TikTokShop

Promo Kursi Gaming

Rp5xx.xxx

Belanja Aman di Sini

Kursi Kerja Ergonomis

Rp3xx.xxx

Belanja Aman di Sini

Meja Kerja/Gaming

Rp2xx.xxx

Belanja Aman di Sini

Meja Kerja/Gaming

Rp2xx.xxx

Belanja Aman di Sini

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan, sepanjang 2024 kasus kekerasan terhadap anak meningkat tajam. Mereka mencatat lonjakan laporan mulai dari kekerasan seksual, perundungan, hingga eksploitasi ekonomi yang melibatkan anak-anak sebagai korbannya. Setiap angka itu adalah wajah kecil yang terluka. (Sumber: Kompas.id)

Di ruang-ruang kelas yang mestinya jadi tempat aman dan menyenangkan, fenomena perundungan kian mengkhawatirkan. KPAI bahkan menerima lebih dari 2.000 laporan kasus perundungan hanya dalam enam bulan pertama tahun ini. Bayangkan, setiap hari ada anak yang pulang sekolah dengan hati hancur karena dicaci, dipukul, atau diasingkan. (Sumber: Tempo.co)

Yang lebih menyayat hati, banyak kasus pelecehan seksual justru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya dipercaya: guru, paman, tetangga, bahkan orang tua kandung. Anak-anak kehilangan rasa aman bukan hanya di ruang publik, tapi juga di lingkaran terdekatnya. (Sumber: Detik.com)

Belum lagi fakta mengerikan tentang sindikat penjualan bayi yang terbongkar beberapa waktu lalu. Polda Jawa Barat berhasil menangkap 12–13 tersangka, terdiri dari perekrut, perawat bayi sejak dalam kandungan, sampai pembuat dokumen palsu. Mereka sudah menjual sedikitnya 15–24 bayi, termasuk enam yang diselamatkan, ke Singapura dan wilayah lain dengan harga sekitar Rp 11–16 juta per bayi (detik.com)

Mudah saja menunjuk jari pada pelaku: guru cabul, ayah bejat, atau senior yang kejam, adanya sindikat tersistem. Tapi mari kita gali lebih dalam. Mengapa kasus ini begitu masif? Mengapa pola-pola  seperti ini terhadap anak terus berulang? Jawabannya ada pada tanah tempat kita berpijak. Sistem kapitalisme sekuler yang kita peluk erat inilah sumber kerusakan itu.

Baca Juga:   KPAI Desak Hapus Game Online, Solusi Kominfo Minta Pengembang Terapkan Batasan Usia

Ulah Sistem Penggilas Masa Depan Anak

Mesin itu besar dan terus berputar ia bernama kapitalisme sekuler. bekerja tanpa henti, menggilas nilai-nilai, menelan fitrah manusia, dan meninggalkan anak-anak kita di jalur yang penuh duri. Sistem ini mengajarkan bahwa ukuran manusia adalah seberapa besar ia memberi kontribusi pada roda ekonomi. Moral tak lagi jadi kompas, hanya laba yang dihitung. Maka tak heran, pendidikan yang semestinya membentuk akhlak malah berubah menjadi pabrik pekerja: kurikulum diarahkan pada keterampilan pasar, sementara nilai-nilai penjaga kemanusiaan terpinggirkan. Anak-anak dijejali target prestasi demi angka, bukan demi karakter.

Orang tua, yang seharusnya menjadi benteng pertama perlindungan, pun terseret arus. Tuntutan ekonomi mencekik, memaksa mereka bekerja lebih lama, bahkan sampai harus merantau jauh, sehingga pengawasan dan pengasuhan terhadap anak sering kali terabaikan. Dalam ruang kosong itu, masuklah bahaya: predator, perundung, dan berbagai bentuk eksploitasi yang mengintai.

Di sisi lain, kapitalisme menyediakan panggung megah untuk industri hiburan yang tak mengenal batas. Konten-konten merusak moral anak diproduksi demi klik, demi profit, tanpa peduli apakah yang menonton adalah mata polos anak berusia tujuh tahun atau orang dewasa. Nilai jual lebih penting daripada nilai akhlak.

Negara? bahkan saya hampir saja lupa peran negara yang sebenarnya, sebab yang terlihat ia justru larut dalam logika sistem ini. Aturan dibuat berdasarkan kalkulasi politik. Aparat yang seharusnya menjaga malah kerap jadi pelaku, atau lebih menyedihkan lagi: menutup mata karena sudah “dibeli”. Inilah wajah kapitalisme: meminggirkan agama dari kehidupan, mengikis fitrah manusia. Anak-anak yang seharusnya dijaga malah diperlakukan seperti barang, bahkan dijual, bahkan disakiti, bahkan diperkosa, menjadi yang paling tak berdaya

Maka jangan heran jika Hari Anak Nasional terasa hampa. Selama mesin kapitalisme ini terus menggilas, selama orientasi hidup hanya diukur dari materi, kita akan terus menyaksikan kejadian seperti ini terus terulang. Hingga datang suatu masa terjadi pada orang terdekat dan kita? Tak mampu melakukan apa-apa bahkan ketika kita sedang benar-benar marah. Demikianlah fakta yang begitu nyata bahwa kapitalisme sebagai penyumbang masalah bahkan bisa menciptakan masalah struktural, maka  untuk mengentaskannya tak cukup hanya dengan solusi yang bersifat kosmetik melainkan solusi fundamental yakni bersifat sistemik

Baca Juga:   DPPA Labuhanbatu Sosialisasikan UU No 12/2022

Pelindung Sejak di Alam Kandungan

Berbeda dengan kapitalisme,  Islam memuliakan anak sebagai sebuah amanah agung dari Allah SWT. Setiap anak adalah generasi penerus peradaban, titipan yang kelak menjadi penopang tegaknya masyarakat yang beradab dan melanjutkan perjuangan islam. Karena itu, dalam sistem Islam, perlindungan terhadap anak bukanlah slogan seremonial, melainkan nyata dalam setiap aturan, bahkan sejak ia masih di alam kandungan.

Negara dalam naungan syariat tidak akan membiarkan rakyatnya tercekik oleh kemiskinan yang kerap menjadi sumber kejahatan. Pemimpin bertanggung jawab memastikan kebutuhan pokok pangan, sandang, papan, kesehatan, hingga pendidikan terpenuhi tanpa diskriminasi. Baitul Mal mengelola kekayaan alam dan sumber daya negeri untuk kepentingan seluruh rakyat, sehingga orang tua tidak pernah terpaksa menjual anaknya atau mengabaikan pendidikan anak hanya karena himpitan ekonomi. Dalam ekosistem yang demikian, anak-anak dapat tumbuh dengan rasa aman, terlindungi dari jeratan eksploitasi.

Di bidang pendidikan, Islam menata kurikulum dan lingkungan belajar agar berakar pada akidah. Pendidikan bukan sekadar proses mencetak tenaga kerja, melainkan membentuk insan yang sadar akan tanggung jawabnya di hadapan Allah. Dalam suasana seperti itu, perundungan dicegah sejak dini karena setiap individu dibimbing untuk mengedepankan akhlak dan adab. Tak ada ruang bagi budaya saling merendahkan, karena sejak kecil anak sudah ditanamkan nilai amar ma’ruf nahi munkar mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Media pun tidak dibiarkan bebas menebarkan racun moral demi mengejar rating dan keuntungan. Setiap tayangan, iklan, hingga konten hiburan diawasi dan diarahkan agar selaras dengan nilai-nilai luhur. Anak-anak tidak disuguhkan konten vulgar, tidak dijadikan komoditas, tidak dieksploitasi untuk kepentingan kapital semata. Mereka tumbuh dalam ekosistem informasi yang sehat, dengan tontonan yang mendidik, bukan yang merusak.

Baca Juga:   Hadiri Puncak HAN, Bupati Harapkan Peran Orangtua dan Guru untuk Tumbuh Kembang Anak

Aparat negara dalam sistem Islam berdiri sebagai pelindung sejati, bukan predator. Mereka memikul amanah yang besar dan jika ada yang berkhianat, sanksi yang dijatuhkan tidak main-main. Tidak ada kompromi terhadap pelaku kekerasan anak; hukuman ditegakkan dengan tegas dan menjerakan. Pelaku pelecehan seksual terhadap anak diadili tanpa pandang bulu, karena kejahatan itu adalah penghinaan terhadap fitrah manusia dan pelanggaran besar terhadap syariat. Eksploitasi anak dihentikan dari akarnya, karena sistem ekonomi tidak memberi ruang bagi orang untuk memanfaatkan kelemahan anak demi keuntungan pribadi.

Islam bahkan menjaga anak sejak ia belum lahir. Nasabnya dipastikan jelas melalui aturan pernikahan yang tegas, sehingga ia tumbuh dengan identitas yang terlindungi. Ibu hamil mendapat perhatian penuh: kesehatannya dijaga, asupan gizinya dipenuhi, bahkan lingkungan yang menenangkan didorong untuk diciptakan agar janin berkembang dengan baik. Nyawa anak dalam kandungan dihargai setinggi-tingginya, sehingga aborsi dilarang kecuali dengan alasan syar’i yang sangat ketat.

Beginilah Islam memandang anak: bukan sekadar simbol masa depan, melainkan amanah yang dijaga dengan seluruh perangkat sistem. Dalam naungan aturan Allah, anak-anak tidak akan dibiarkan menangis diam-diam di balik panggung perayaan. Mereka akan tumbuh dalam perlindungan, kasih sayang, dan jaminan nyata dari negara dan masyarakat. Bukan sekadar ucapan manis setiap Hari Anak Nasional, melainkan kenyataan yang berdenyut di setiap sendi kehidupan.

Singkatnya, Islam tidak menunggu sampai anak menjadi korban baru kemudian bergerak. Mereka (anak-anak) butuh negara yang sungguh-sungguh melindungi. Mereka butuh sistem yang tidak sekadar merayakan, tapi menjaga dengan sepenuh jiwa. Itulah tugas kita, tugas sebuah peradaban. Dan peradaban itu hanya akan terwujud ketika aturan Allah kembali ditegakkan.

Share:   
https://wa.wizard.id/003a1b

FOLLOW US ON FACEBOOK
FOLLOW US ON INSTAGRAM
FOLLOW US ON TIKTOK
@dailypost.id
ekakraf multimedia