Opini– Gorontalo cukup sering mengalami berbagai bencana alam, salah satu yang sering menimpah gorontalo adalah bencana banjir. Banjir bandang kembali menerjang kabupaten gorontalo utara. Hujan deras yang mengguyur Desa Molingkapoto, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, sejak pukul 16.00 Wita, Senin (20/1/2025), mengakibatkan banjir di beberapa wilayah, yaitu Desa Jembatan Merah, Pontolo, Molingkapoto Selatan, dan Ombulodata, Senin (20/01/2025).
Curah hujan tinggi membuat saluran air tidak mampu menampung debit air, sehingga menyebabkan luapan yang menggenangi pemukiman dan jalan raya. Tinggi genangan air diperkirakan mencapai 30 cm hingga 1 meter. Kondisi ini sempat menghambat aktivitas masyarakat, dan banyak warga yang berupaya menyelamatkan barang-barang berharga di rumah masing-masing agar tidak terbawa arus banjir. Sejauh ini, belum ada korban jiwa akibat banjir bandang tersebut.
Akan tetapi kerusakan bangunan, gangguan layanan publik dan hilangnya aksesibilitas merupakan bagian dari dampak fisik dan infrastruktur. Secara sosial, pengungsian, trauma, dan ketegangan sosial dapat terjadi akibat bencana. Biaya rehabilitasi yang harus dikeluarkan untuk pemulihan merupakan dampak ekonomi yang tidak bisa dihindari dari bencana alam. Selain itu dampak terhadap lingkungan, kesehatan, psikologis, dan politik juga dapat menjadi dampak turunan dari bencana yang terjadi.
Kejadian bencana beserta dampak tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi kita bahwa pentingnya adanya mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak negatif dari bencana terhadap manusia, lingkungan, dan aset. Mitigasi seharusnya dilakukan sebelum bencana terjadi untuk meminimalkan kerugian. Penerapan mitigasi bencana akan berkaitan dengan berbagai strategi secara struktural dan nonstruktural serta melibatkan upaya perencanaan, edukasi, penggunaan teknologi, serta kolaborasi berbagai pihak yag terlibat.
contoh mitigasi struktural adalah pembangunan tanggul, bendungan untuk mengurangi risiko banjir, penanaman bakau sebagai pelindung alami dan abrasi pantai. Adapun tindakan mitigasi nonstruktural berfokus pada kebijakan, edukasi, dan perencanaan kegiatan yang mendukung pengurangan risiko bencana, sebagai contoh, penetapan zonasi yang aman untuk beraktivitas, upaya pengelolaan lingkungan, dan peningkatan kesadaran masyarakat melalui pelatihan dan pendidikan.
Pemerintah sebenarnya juga sudah berupaya menangani masalah banjir tersebut. Misalnya ada Imbauan dan antisipasi kepada masyarakat, seperti membersihkan saluran air, memeriksa kondisi daerah aliran sungai, dan mempersiapkan evakuasi mandiri.
Tapi harusnya hal tersebut tidak menjadi solusi andalan setiap kali musim hujan datang. Butuh upaya serius dan tindakan nyata untuk mengatasinya. Tidak hanya sibuk membangun infrastruktur, melakukan alih fungsi lahan, mengubah tatanan kota agar bernilai estetik demi pariwisata. tetapi juga butuh upaya mitigasi dan antisipasi bencana yang terencana, terukur, dan tersistem.
Bencana alam yang terjadi seperti bencana banjir sering kali memiliki hubungan kausalitas yang erat dengan aktivitas manusia yang merusak lingkungan. Bencana banjir aktivitas penggundulan hutan yang mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan, sehingga aliran permukaan meningkat. Pembukaan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan, tambang maupun permukiman sering menjadi penyebab utama banjir besar di daerah aliran sungai.
Padahal Allah sangat jelas memberi panduan dalam menjaga lingkungan. Larangan merusak lingkungan termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 205, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”
Penanganan bencana yang disebabkan faktor alam atau ulah tangan manusia harus dilakukan secara fundamental, yaitu dengan tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pada aspek preventif, Islam akan menetapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan umat manusia, serta politik ekonomi berbasis syariat Islam.
Islam memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana seperti bendungan, kanal, pemecah ombak, tanggul, reboisasi (penanaman hutan kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, serta pemeliharaan kebersihan lingkungan.
Aturan islam akan menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai hima (perlindungan), cagar alam, hutan lindung, dan kawasan penyangga yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin; menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan dan memelihara lingkungan dari kerusakan; mendorong kaum muslim menghidupkan tanah mati (ihyaa’ al-mawaat) sehingga bisa menjadi penyanggalingkungan yang kokoh
Nabi ﷺ pernah menetapkan sejumlah wilayah di sekitar Madinah sebagai hima. Salah satunya adalah hima an-Naqi yaitu tempat yang airnya melimpah sehingga di sana tumbuh banyak pohon kurma yang lebat buahnya yang terletak 20 farsakh dari Madinah. Rasulullah melarang orang-orang untuk menghidupkan tanah di tempat itu karena banyak rumput yang bisa digunakan untuk menggembalakan hewan ternak tertentu. Rasulullah melakukan proteksi atas tempat tersebut untuk pemeliharaan kuda-kuda perang kaum muslim (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 521).
Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menetapkan kawasan lain di Madinah sebagai hima ar-Rabadhah. Kawasan ini lebih mirip tanaman industri karena yang ditanam adalah palem dan beberapa pohon yang dikonsumsi. Mereka yang berhak memanfaatkan hima adalah orang-orang yang membutuhkan.
Di dalam islam juga akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas bagi siapa pun yang mencemari dan berupaya merusak lingkungan.
Dalam aspek kuratif, jika terjadi bencana, Pemimpin akan melakukan langkah berikut: (1) melakukan evakuasi korban secepatnya; (2) membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban; (3) memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat-tempat yang tidak dihuni oleh manusia; (4) mempersiapkan lokasi pengungsian, dapur umum, dan posko kesehatan.
Adapun dari aspek rehabilitatif, Negara islam akan melakukan recovery, yaitu manajemen pascabencana, seperti memberikan pelayanan terbaik kepada para korban selama berada di pengungsian; memulihkan psikis mereka agar senantiasa bersabar, tidak stres, atau depresi atas cobaan yang menghampiri; memenuhi kebutuhan vital mereka yaitu makanan, pakaian, obat-obatan, tempat istirahat yang layak, dan layanan kesehatan lainnya; serta memberi nasihat dan tausiah untuk menguatkan akidah dan nafsiah (jiwa) para korban.
Semua ini dilakukan oleh negara karena Islam menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelayan untuk kemaslahatan rakyat, termasuk dalam menghadapi bencana.
(Penulis: Anisa Ibrahim)