Opini– Isu pergantian Kurikulum Merdeka dengan model Deep Learning semakin nyaring dibicarakan publik. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti pernah mengisyaratkan gagasan perubahan model Kurikulum di Indonesia dengan sinyal akan mengkaji ulang Kurikulum Merdeka dan mengarahkan model deep learning. Namun, Abdul Mu’ti mengatakan bahwa deep learning bukan kurikulum, melainkan digunakan sebagai metode pendekatan baru yang lebih dalam dan berpusat pada keterlibatan siswa secara aktif.
Tidak disebutkannya Deep Learning sebagai kurikulum baru ini seolah menghindari animo masyarakat bahwa ‘ganti menteri, ganti kurikulum.’ atau ganti menteri, ganti kebijakan. Namun metode bahkan perubahan kurikulum dimungkinkan akan terjadi pada tahun ajaran baru nanti. Mengingat hal ini sudah menjadi kebiasaan bangsa ini setiap kali ganti menteri maka kurikulum pun akan berganti. Dalam perjalanan sejarah bangsa kita (Indonesia) dari tahun 1945 hingga 2024 sudah ada setidaknya 11 Kurikulum pendidikan yang diterapkan. Kurikulum terakhir adalah Kurikulum Merdeka Belajar.
Ini bukanlah menjadi hal yang baru dalam sistem pendidikan kita hari ini. Gonta-ganti kurikulum seolah menjadi hal yang niscaya dalam penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalisme, akibat daripada ketidakjelasan visi-misi pendidikan yang diterapkan oleh negara. Kurikulum yang ada akan senantiasa berubah mengikuti selera pasar dan arus global. Apalagi teknologi digital berkembang pesat, maka arah kurikulum akan ditekankan pada aspek digitalisasi. Lalu apakah kurikulum ini mampu menjawab masalah-masalah yang ada di dunia pendidikan kita hari ini?
Beda Nama, Esensi Tetap Sama
Metode pengajaran deep learning yang digadang-gadang akan menggantikan kurikulum merdeka belajar, akan mengintegrasikan tiga elemen utama yang dikembangkan agar siswa dapat menguasai pengetahuan sekaligus mendapatkan pengalaman lebih bermakna yakni :
- Mindful Learning: menyadari keadaan murid berbeda-beda.
- Meaningful Learning: mendorong murid berpikir dan terlibat dalam proses belajar.
- Joyfull Learning: mengedepankan kepuasan dan pemahaman mendalam.
Sekilas, kurikulum Deep Learning ini memberikan harapan baru bagi dunia pendidikan. Akan tetapi, pada hakikatnya, kurikulum ini adalah produk yang lahir dari rahim yang sama dengan kurikulum sebelumnya yakni paradigma sekularisme. Pendidikan yang sekuler terbukti telah gagal mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia saleh dan muslih serta tidak mampu mencetak generasi yang unggul. Hal ini karena karena pendidikan sekuler bertujuan sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistis dalam pencapaian tujuan hidup, hedonis dalam budaya masyarakatnya, individualistis dalam interaksi sosialnya, serta sinkretis dalam agamanya. Asas sekuler mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya pada proses penguasaan tsaqafah Islam dan pembentukan kepribadian Islam sebagai agama mayoritas yang ada di negeri ini. Sehingga potret generasi yang dihasilkan oleh sistem pendidikan berbasis sekuler adalah generasi yang tergerus imannya; minim adab dan akhlak; serta berpola pikir dan berpola sikap liberal. Alih-alih mencetak generasi problem solver, generasi yang lahir justru berpotensi menjadi trouble maker di tengah masyarakat. Inilah potret buram generasi saat ini yang lahir dari rahim sistem pendidikan sekuler.
Hal ini pun memberikan dampak yang kurang baik bagi guru, mengapa tidak? Guru akan dibuat kebingungan akan arah pendidikan yang diamanatkan oleh kurikulum dan kebijakan sebelumnya, belum tuntas pemahaman mengenai kurikulumnya sebelumnya, malah diganti lagi dengan kurikulum dan kebijakan yang baru. Pergantian kurikulum ini pun butuh dana yang tidak sedikit untuk mensosialisasikan kepada guru-guru. Mau tidak mau guru pun akan mengupgrade kembali pemahaman mereka terkait kurikulum dan kebijakan yang baru. Ini akan menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran, sehingga guru tidak berfokus lagi kepada tujuan pendidikan tadi tapi malah disibukkan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan-kebijakan dari kurikulum yang baru.
Berbagai perubahan dalam sistem pendidikan nasional selama ini nyatanya belum mampu mencetak generasi yang beriman dan bertakwa serta terampil sebagaimana tujuan pendidikan. Perubahan ini tidak memberikan dampak yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Inilah kenyataannya, nama kurikulumnya dan teknisnya saja yang berbeda akan tetapi esensinya tetap sama. Maka hal ini memberikan harapan semu belaka bagi dunia pendidikan kita hari ini.
Sistem Pendidikan Islam
Ini sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Dalam Islam, pendidikan merupakan hal vital bagi rakyat maka sudah sepantasnya negara menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, menjadi kewajiban negara merancang sistem pendidikan yang sahih berasaskan akidah Islam, termasuk kurikulumnya. Dengan kurikulum yang berlandaskan akidah Islam, bukan sebuah kemustahilan lahir generasi yang tinggi akhlaknya, cerdas akalnya, dan kuat imannya. Karenanya, sistem pendidikan Islam memiliki visi dan misi yang jelas, yakni mencetak generasi berkepribadian islam yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan tolak ukur syariat Islam (syakhsiyah islamiyah). Bahkan metode pendidikan dan pengajaran dalam Islam akan dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqafah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai tingkat kebutuhan dan tidak terikat jenjang pendidikan tertentu. Sehingga ini akan mencetak SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami nilai-nilai Islam, bukan sekedar menguasai cabang ilmu umum, sains dan teknologi tapi juga menguasai ilmu agama. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau perilaku.
Pendidikan dalam Islam memadukan antara keimanan dengan ilmu kehidupan sehingga berpengaruh besar dalam setiap amal perbuatan. Pendidikan semacam ini pernah lahir pada masa peradaban Islam selama 13 abad lamanya. Sejarah panjang peradaban Islam telah memberikan bukti nyata akan keunggulan sistem Pendidikan Islam, yang diterapkan dalam negara yang menerapkan Islam kaffah. Peradaban Islam telah banyak melahirkan cendekiawan dan ilmuwan yang ahli berbagai bidang. Semisal Al Khawarizmi, seorang ahli matematika, dikenal Barat dengan Algebra atau Aljabar. Dengan kecerdasannya, beliau merumuskan hitungan matematika jauh lebih mudah dengan angka nol ketika kala itu Peradaban Romawi masih menggunakan angka romawi yang susah dipelajari.
Seorang ahli kimia, Jabir Ibnu Hayyan atau dikenal dengan nama Ibnu Geber hingga rumusan beliau menjadi dasar bagi ilmuwan Barat di bidang kimia. Bapak kedokteran dunia, Ibnu Sina atau dikenal Avicenna, Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dan lainnya menjadi bukti bahwa ulama pada masa peradaban Islam tidak melulu lihai dalam ilmu agama, namun juga menguasai ilmu umum, sains dan teknologi.
Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat harus dicerdaskan dan dipahamkan tentang sistem pendidikan yang sahih ini yakni sistem pendidikan yang berasaskan aqidah islam. Kaum muslim tidak boleh terjebak dan jatuh dalam harapan semu perubahan kurikulum. Selama pendidikan hari ini masih memakai paradigma kurikulum dengan asas sekuler kapitalisme, tidak ada harapan untuk menyelesaikan problematika umat, yang ada hanya harapan semu termasuk di bidang pendidikan. Kita hanya bisa berharap perubahan signifikan dalam pendidikan ketika diatur dengan syariat Islam kaffah, bukan dengan sekularisme lagi.
Wallahu’alam bishowab.
(Penulis: Devina Nurhalifah)