Opini– Memasuki awal tahun 2025, sebagian besar wilayah Indonesia mengalami curah hujan yang cukup tinggi. Dampaknya, banjir terjadi hampir di seluruh penjuru negeri. Salah satu daerah yang terdampak cukup parah adalah Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Banjir bandang yang terjadi di sana mengakibatkan satu korban jiwa dan tiga warga mengalami luka-luka. (CNN Indonesia, 4/1/2024).
Tidak hanya di Sulawesi Tengah, banjir juga melanda Pulau Sumatera. Di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, hujan deras menyebabkan banjir yang meluas ke berbagai wilayah. Hujan dengan intensitas tinggi memicu meluapnya sungai-sungai yang merendam permukiman warga, mengakibatkan kerusakan dan kerugian yang cukup besar. (CNN, 11/1/2024).
Pada 9 Januari 2025, bencana banjir bandang juga terjadi di Dusun Peh, Desa Gunung Sari, Kecamatan Maesan, Bondowoso, Jawa Timur. Banjir yang datang secara tiba-tiba disertai lumpur dan ranting kayu ini meluap hingga ke jalan raya dan merusak sejumlah rumah warga. Sebanyak 12 rumah hanyut terbawa arus, dan beberapa ternak warga juga terjebak dalam derasnya banjir. (Berita Satu, 9/1/2024).
Tak hanya di wilayah-wilayah tersebut, bencana serupa juga melanda Gorontalo. Di Kabupaten Boalemo dan beberapa desa di Kabupaten Pohuwato, banjir merendam permukiman dan mengganggu aktivitas masyarakat. Wilayah-wilayah ini sudah beberapa kali menjadi korban banjir, yang menambah panjang daftar bencana alam yang melanda Indonesia pada awal tahun ini. (Gorontalo Post, 23/1/2024).
Banjir dan Kegagalan Mitigasi dalam Kapitalisme
Banjir yang menjadi musibah tahunan di Indonesia mencerminkan kegagalan sistem negara dalam mengantisipasi dan mengatasi bencana. Setiap tahun, banjir datang dengan kerusakan yang sama, mengancam nyawa dan merusak harta benda masyarakat. Meskipun bencana ini bisa diprediksi, upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah masih jauh dari memadai. Kelemahan dalam penanganan banjir ini menunjukkan bahwa negara tidak berfungsi sebagai ra’a’in, pemimpin yang seharusnya melindungi rakyat. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan segelintir orang, terutama pemilik modal. Alhasil, kebijakan yang diambil lebih menguntungkan segelintir kelompok daripada memperhatikan keselamatan rakyat. Bencana yang terjadi menunjukkan betapa abainya negara terhadap nasib warganya, karena sistem kapitalisme lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi jangka pendek ketimbang keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan Kapitalisme yang Merusak Alam
Salah satu akar penyebab terjadinya bencana, seperti banjir, adalah pola pembangunan yang diterapkan dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, keuntungan ekonomi menjadi prioritas utama, sementara kelestarian alam dan keselamatan masyarakat sering kali terabaikan. Pembangunan yang dikendalikan oleh oligarki, di mana keputusan-keputusan besar diambil oleh segelintir kelompok yang memiliki kekuatan modal, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Salah satu contoh nyata adalah perubahan fungsi lahan, seperti konversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit.
Pernyataan Presiden yang membela pembukaan lahan untuk sawit dan mengklaim bahwa deforestasi tidak membahayakan lingkungan semakin memperburuk keadaan. Ini jelas bertentangan dengan peringatan dari para ilmuwan yang menyatakan bahwa deforestasi dapat mengakibatkan kerusakan ekologis yang luas, termasuk perubahan iklim, berkurangnya resapan air, dan peningkatan potensi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Namun, dalam logika kapitalisme, yang terpenting adalah laju pertumbuhan ekonomi dan ekspansi sektor bisnis, bukan dampak jangka panjang terhadap lingkungan atau kesejahteraan rakyat.
Selain itu, sektor-sektor yang memanfaatkan sumber daya alam, seperti perkebunan sawit, cenderung mengabaikan aspek keberlanjutan. Praktik-praktik eksploitasi yang tidak terkendali ini menyebabkan degradasi ekosistem dan mengurangi daya dukung alam terhadap bencana. Misalnya, hilangnya kawasan hutan sebagai penampung air membuat daerah-daerah yang sebelumnya aman dari banjir kini lebih rentan terhadap bencana. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek ekologis ini bukan hanya merusak alam, tetapi juga meningkatkan kerentanannya terhadap bencana, yang pada akhirnya menambah beban bagi masyarakat yang sudah terhimpit kemiskinan dan kesulitan hidup.
Dalam kerangka kapitalisme, pembangunan sering kali berfokus pada ekspansi dan keuntungan dalam jangka pendek, sementara dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sering kali diabaikan. Ini menjadi cermin kegagalan sistem yang hanya melayani kepentingan segelintir orang, sementara rakyat harus menanggung akibatnya, baik dalam bentuk bencana alam yang semakin sering maupun kerusakan sosial yang ditimbulkan.
Perlindungan dan Perencanaan Matang dalam Negara Islam
Negara dalam Islam memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari segala bentuk kemudaratan, termasuk bencana alam. Islam mengajarkan bahwa negara harus melakukan perencanaan yang matang dalam membangun infrastruktur dan tata ruang, dengan mempertimbangkan potensi bencana di setiap wilayah. Negara harus berorientasi pada kemaslahatan umat, yakni memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya bermanfaat bagi segelintir orang, tetapi untuk seluruh rakyat. Salah satu prinsip dasar dalam Islam adalah konservasi alam. Islam melarang pemburuan binatang dan perusakan tanaman demi menjaga keseimbangan ekosistem. Selain itu, negara juga wajib melakukan pemetaan wilayah berdasarkan potensi bencana yang ada, seperti gempa bumi, banjir, atau tanah longsor, dan menyusun tata ruang yang berbasis mitigasi bencana. Dengan pendekatan ini, negara dapat membangun kota atau desa yang tidak hanya aman bagi manusia, tetapi juga menjaga kelestarian alam.
Penguasa sebagai Raa’in dan Pelindung Rakyat
Dalam Islam, penguasa diposisikan sebagai ra’a’in (pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya) dan junnah (pelindung) yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya dari segala bentuk bahaya, termasuk bencana alam. Negara harus bertindak tegas untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya memihak pada kepentingan ekonomi semata, tetapi juga pada keselamatan dan kesejahteraan umat. Negara wajib memastikan adanya sistem mitigasi yang efektif dan membangun infrastruktur yang dapat melindungi masyarakat dari bencana. Dalam hal ini, Islam memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana negara seharusnya menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pelindung rakyat, baik dari ancaman bencana alam maupun dari ketidakadilan sosial dan ekonomi. Dengan sistem yang berpihak pada umat dan mematuhi prinsip-prinsip Islam, negara dapat memastikan bahwa seluruh rakyatnya hidup dalam kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan.
Wallahu’alam bishowab (Penulis: Sandyakala)