Indonesia Buka Ekspor Pasir Laut, Potensi Ancaman Lingkungan Mengintai

Dailypost.id
ilustrasi pasir laut (istimewa)

DAILYPOST.ID Ekonomi — Keputusan pemerintah untuk kembali membuka keran ekspor pasir laut, setelah 20 tahun dilarang, mengundang perhatian besar dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dipayungi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 dan diperkuat oleh dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Meskipun dibuka dengan alasan pengelolaan sedimentasi di laut, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak lingkungan dan geopolitik yang bisa merugikan Indonesia.

Kebijakan ekspor pasir laut ini diyakini akan memberikan keuntungan besar bagi Singapura, negara yang selama ini mengandalkan impor pasir laut untuk reklamasi dan perluasan daratan. Ekonom dan Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menyebutkan bahwa sejak larangan ekspor pasir laut oleh Megawati Soekarnoputri pada 2002, pertumbuhan luas wilayah Singapura tidak signifikan. Namun, dengan kembali dibukanya keran ekspor pasir laut, Andry memprediksi bahwa Singapura akan kembali memperluas wilayahnya dengan memanfaatkan pasir laut dari Indonesia.

https://wa.wizard.id/003a1b

“Singapura sangat diuntungkan dari kebijakan ini. Perubahan luas wilayah mereka selama larangan ekspor pasir laut tidak begitu signifikan. Namun, jika ekspor pasir laut kembali dibuka, kemungkinan besar mereka akan memanfaatkan ini untuk proyek reklamasi,” ungkap Andry.

Dalam konteks ini, Singapura diakui sebagai importir pasir laut terbesar di dunia. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2019, Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dalam dua dekade terakhir dari negara-negara tetangga, termasuk Malaysia.

Ancaman terhadap Kedaulatan dan Lingkungan

Kendati Singapura diuntungkan, tidak sedikit pihak yang menyuarakan kekhawatiran terkait dampak negatif kebijakan ini bagi Indonesia. Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P Sasmita, memperingatkan bahwa ekspor pasir laut berpotensi mengancam kedaulatan wilayah Indonesia. Ia menjelaskan, jika pasir laut digunakan untuk reklamasi di wilayah perbatasan dengan Indonesia, hal ini bisa berakibat pada perubahan garis batas kedua negara.

“Dampaknya bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga kedaulatan. Jika pasir laut digunakan untuk reklamasi di perbatasan, maka wilayah daratan Singapura akan bertambah, sementara wilayah laut Indonesia berkurang. Ini bisa memicu perubahan batas teritorial,” jelas Ronny.

Selain ancaman terhadap kedaulatan, dampak lingkungan juga menjadi sorotan utama. Pengerukan pasir laut secara besar-besaran bisa mengganggu ekosistem laut, merusak habitat bawah laut, dan menyebabkan abrasi di sejumlah daerah pesisir. Meskipun pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengelola hasil sedimentasi di laut, Ronny menilai manfaatnya bagi masyarakat lokal jauh lebih kecil dibandingkan dengan risiko lingkungan dan sosial yang akan dihadapi.

Kebijakan yang Menguntungkan Segelintir Pihak

Di sisi lain, kebijakan ekspor pasir laut ini dinilai hanya akan menguntungkan segelintir pihak, yakni eksportir dan penambang pasir, serta pemerintah. Secara fiskal, keuntungan dari ekspor pasir laut memang bisa menambah pendapatan negara. Namun, masyarakat yang tinggal di sekitar area pengerukan pasir laut kemungkinan besar akan menanggung dampak negatifnya, seperti kerusakan lingkungan dan berkurangnya sumber daya alam lokal.

Ronny menambahkan bahwa dampak ekonomi dari kebijakan ini juga tidak merata. Sementara eksportir dan perusahaan tambang pasir mendapatkan keuntungan, masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada sektor perikanan justru akan kehilangan sumber mata pencaharian akibat kerusakan ekosistem laut.

Langkah Maju atau Mundur?

Dengan berbagai pro dan kontra yang ada, pembukaan kembali ekspor pasir laut ini memunculkan pertanyaan: apakah kebijakan ini merupakan langkah maju bagi Indonesia, atau justru langkah mundur? Di satu sisi, kebijakan ini bisa mendatangkan keuntungan ekonomi melalui peningkatan ekspor. Namun, di sisi lain, risiko lingkungan, sosial, dan geopolitik yang ditimbulkan tampaknya lebih besar dibandingkan dengan manfaat jangka pendek yang bisa diperoleh.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini dijalankan dengan pengawasan ketat untuk meminimalkan dampak negatifnya, baik terhadap lingkungan maupun kedaulatan wilayah. Regulasi yang tegas dan transparan, serta keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, menjadi kunci untuk menjaga agar kebijakan ini benar-benar menguntungkan Indonesia secara berkelanjutan.

(d09)
Share:   

FOLLOW US ON FACEBOOK
FOLLOW US ON INSTAGRAM
FOLLOW US ON TIKTOK
@dailypost.id
ekakraf multimedia