Oleh: Syifa Nusaibah
Opini — Baru-baru ini ramai diperbincangkan baik di media sosial maupun media massa jumlah pengangguran di Indonesia yang meningkat pesat, khususnya pada Gen Z. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024, ada 3,6 juta Gen Z usia 15-24 yang menganggur tahun ini. Itu artinya, Gen Z menyumbang 50,29% dari total pengangguran terbuka di Indonesia. Jika ditambah dengan mereka yang tergolong bukan Angkatan kerja tetapi tidak sedang sekolah atau pelatihan (Not in Employment, Education or Training/NEET), jumlah pengangguran mencapai 9,9 juta (wartaekonomi.co,id, 10/8/2024).
Di Gorontalo sendiri berdasarkan data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) menggambarkan kondisi ketenagakerjaan pada bulan Februari 2024, tercatat jumlah pengangguran di Provinsi Gorontalo sebesar 19,9 ribu orang. Jumlah ini menjadikan TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) di Provinsi Gorontalo pada urutan kelima terendah dari 38 Provinsi. Tentu bukanlah satu hal yang membanggakan bukan?
Jelas bukanlah angka sedikit untuk tolak ukur bagaimana pengangguran terjadi dalam negeri hari ini dengan melibatkan semua kalangan usia termasuk para generasi muda. Kelalaian negara dalam menciptakan lapangan pekerjaan tidak dapat dinafikkan lagi. Meningkatnya angka pengangguran menjadi dilema bagi negara dalam upayanya mengikis bahkan meniadakan pengangguran guna memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakatnya. Namun, alih-alih dapat dikurangi justru pengangguran yang berakibat pada kemiskinan semakin meningkat membentuk mata rantai yang semakin sulit untuk dapat diurai dan dipecahkan.
Ancaman bonus demografi
Tingginya angka pengangguran di kalangan Generasi Z menjadi ancaman serius bagi bonus demografi Indonesia. Bagaimana tidak, adanya bonus demografi yang seharusnya mampu membuat Indonesia mencapai kemajuan dalam bidang ekonomi, kini justru dapat menghambat potensi tersebut. Generasi muda senantiasa dihadapkan pada persaingan ketat dalam dunia kerja dengan keterbatasan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada dan kurangnya keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Akibatnya, banyak yang merasa frustasi, jatuh dalam kubangan kemiskinan hingga mengalami ketidakstabilan sosial yang pada akhirnya tidak hanya merugikan individu tetapi juga akan merugikan negara dalam jangka Panjang.
Ancaman ini semakin nyata mengingat Generasi Z yang merupakan kelompok penduduk terbesar di Indonesia memiliki kerakteristik berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih melek teknologi, kreatif dan adaptif terhadap perubahan. Namun, di sisi lain juga cenderung kurang sabar, mudah terdistraksi dan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap pekerjaan. Generasi hari ini begitu mengharapkan pekerjaan yang layak dengan gaji fantastis sebagai fokus setelah menyelesaikan Pendidikan.
Hal ini yang pada akhirnya membuat mereka lebih rentan terhadap kekecewaan dan frustasi jika tidak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan harapan. Ditambah lagi apabila pekerjaan yang mereka dapatkan tidak memiliki korelasi dengan jurusan yang mereka pelajari atau passion yang mereka minati, jelas akan membuat mereka tidak menikmati hingga mencari yang lebih lagi menyesuaikan pribadi. Apabila masalah pengangguran ini tidak segera ditangani, maka bonus demografi di Indonesia justru hanya akan menjadi beban negara sebab tidak mampu berkontribusi dalam menjalankan roda perekonomian.
Kegagalan negara
Jika dicermati secara mendetail, negara hari ini gagal dalam upaya menangani pengangguran termasuk di kalangan generasi muda khususnya disektor- sektor strategis. Sebagai contoh, dalam proses pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dipekerjakan tenaga kerja asing yang bertugas sebagai pengawas atau mandor dalam proyek strategis tersebut. Ini dikarenakan tenaga kerja asing dinilai lebih cepat atau cekatan dibandingkan tenaga kerja lokal, pun hasilnya akan lebih berkualitas. Hasilnya Ibu Kota Nusantara bisa dikatakan sebagai proyek yang memang dikhususkan untuk asing mulai dari pendanaan hingga tenaga kerja yang dipekerjakan berasal dari asing. Hal ini tidak lain disebabkan kebijakan yang dikeluarkan cenderung mengutamakan kepentingan asing dan swasta dibandingkan dengan kesejahteraan rakyat. Alih-alih membangun industri pengelolaan sumber daya dalam negeri dengan menyerap tenaga kerja lokal, negara justru membuka lebar pintu bagi investasi asing dan swasta dengan seringkali memilih atau mengambil tenaga kerja terampil dari luar negeri dengan alasan efisiensi biaya. Berdasarkan data yang ditemukan tercatat jumlah TKA di Indonesia mencapai 111.537 orang pada 2022.
Data ini melonjak 23,36% jika dibandingkan dengan data pada tahun sebelumnya yakni 88.271 orang dengan sebagian besar berasal dari Cina (Data Indonesia, (10/3/2023). Kelangkaan lapangan kerja menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesempatan kerja para kepala keluarga/ laki-laki, yang merupakan salah satu mekanisme terwujudnya kesejahteraan rakyat. Hal ini buah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pengelolaan SDAE (sumber daya alam dan energi) diberikan kepada asing dan swasta. Juga lahirnya berbagai regulasi yang justru menyulitkan rakyat untuk mendapatkan pekerjaan akibat terjadinya deindustrialisasi.
Hal ini tentunya berdampak pada terbatasnya lapangan pekerjaan bagi Generasi Z di sektor-sektor strategis seperti manufaktur, teknologi dan energi juga yang lainnya. Contohnya, di sektor pertambangan, perusahaan seringkali menggunakan tenaga kerja asing untuk posisi-posisi kunci, sementara tenaga kerja lokal hanya ditempatkan pada posisi-posisi yang kurang strategis dan dengan gaji yang rendah.
Kondisi serupa juga terjadi di sektor manufaktur, dimana perusahaan swasta lebih memilih mengimpor mesin-mesin canggih yang membutuhkan tenaga kerja terampil lebih sedikit, sehingga mengurangi peluang kerja bagi tenaga kerja lokal termasuk Generasi Z, akibatnya, Generasi Z yang memiliki potensi besar untuk membangun bangsa justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan pengangguran. Mereka terpaksa bekerja di sektor informal dengan gaji yang rendah dan tidak menentu atau bahkan terpaksa menagnggur dan menjadi beban bagi keluarga. Kegagalan negara dalam mengelola sumber daya secara merata dan berkelanjutan untuk kepentingan rakyat sendiri, justru telah mengrobankan masa depan Generasi Z dan mengancam bonus demografi Indonesia.
Konsep Islam mengatasi pengangguran
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki konsep yang komprehensif dalam mengatasi pengangguran. Negara memiliki kewajiban mengurus rakyat dan menjamin kesejahteraannya dalam berbagai bidang termasuk di bidang ekonomi. Konsep yang ditawarkan Islam tidak lain berakar pada nilai-nilai Islam yakni tawakkal dan ikhtiar. Tawakkal mengajarkan kita untuk senantiasa berserah diri kepada Allah SWT dalam segala urusan, namun tetap disertai dengan ikhtiar yang maksimal. Ikhtiar berarti berusaha dengan bekerja sebagai upaya pemenuhan kebutuhan. Di sinilah peran negara sangat diperlukan. Negara dalam Islam memberikan lapangan pekerjaan terutama bagi kepala keluarga sebagai ladang untuk mencari nafkah. Edukasi dan motivasi juga akan diberikan oleh negara berkaitan dengan kewajiban nafkah untuk membangun spirit juga semangat kerja bagi para pekerja. Selain itu, negara akan memberikan modal awal kepada mereka yang ingin membuka atau mengembangkan usaha guna mencapai taraf hidup sejahtera jauh dari kubangan kemiskinan.
Islam mendorong negara untuk memberikan prioritas kepada tenaga kerja lokal bukan asing dalam kepengurusan SDA sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan ekonomi terhadap masyarakat. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memastikan kesejahteraan rakyatnya, termasuk dalam hal penempatan tenaga kerja. Dengan memberdayakan tenaga kerja lokal dalam mengurusi SDA, negara tidak hanya memberikan kesempatan kerja yang adil bagi masyarakatnya, tetapi juga memperkuat ekonomi domestik dan membangun kemandirian dalam pengelolaan sumber daya alam. Islam menjalankan sistem ekonomi dan politik Islam, termasuk dalam pengaturan dan pengelolaan SDAE yang merupakan milik umum. Pengelolaan SDAE oleh negara meniscayakan tersedianya lapangan kerja yang memadai dan juga jaminan kesejahteraan untuk rakyat.
Dengan membuka peluang kerja kepada tenaga kerja lokal, akan membentuk ekosistem ekonomi yang inklusif berkelanjutan, sehingga dapat memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi juga stabilitas sosial dalam jangka waktu yang panjang. Kebijakan yang dikeluarkan dalam politik ekonomi Islam menjamin pemenuhan kebutuhan individu dan masyarakat bukan komunitas atau kelompok tertentu dalam sebuah negara. Singkatnya, dalam hal penanganan peningkatan angka pengangguran adalah dengan menciptakan kemandirian negara dalam berekonomi tanpa melibatkan pihak asing. Sebab terpuruknya perekonomian masyarakat dalam negeri hari ini tidak lepas dari peran besar industri dan sumber daya alam yang seringkali dijadikan komoditas jual beli dengan pihak asing juga swasta. Semuanya menjadi hal biasa dalam kepemimpinan kapitalisme sekularisme yang hanya akan mampu dibasmi dengan sistem fundamental yakni Sistem Islam, sistem yang mampu memberikan solusi hakiki bukan solusi yang pro-korporasi.