Oleh : Tri Ningrum (Aktivis Muslimah)
Opini — Keputusan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menerima izin tambang yang ditawarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap mengejutkan, karena berseberangan dengan sikap kritis yang selama ini ditunjukkan terhadap kebijakan pemerintah jika dianggap tidak memihak rakyat. Perbedaan sikap yang dilakukan muhammadiyah akan menjadi pemikiran tersendiri bagi masyarakat dan menganggap Muhammadiyah tidak hanya menyetujui tetapi juga mendukung substansi norma terkandung dalam regulasi pemberian izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan.
Keputusan ini dianggap tidak tepat dan dipandang sangat berbahaya. Sebab, keberadaan ormas dan perusahan tambang memiliki tupoksi yang berbeda. Tentu, hal ini akan berdampak kepada munculnya disorientasi dan disfungsi dari kedua lembaga tersebut. Dengan adanya keputusan ini, maka posisi ormas yang seharusnya sebagi pengontrol penguasa dengan melakukan amar makruf nahi mungkar, akan disibukkan dengan urusan pengelolaan tambang.
Di sisi lain, keberadaan tambang hakikatnya merupakan milik umat yang tidak boleh dikuasai oleh individu, swasta maupun ormas melainkan dikelola oleh negara. Sebab, hal ini akan mengalihkan tanggung jawab negara dalam mengelola tambang kepada pihak lain, dalam hal ini adalah ormas. Padahal sebelumnya, negara telah banyak memberi izin pengelolaan berbagai jenis tambang negeri ini kepada pihak swasta, asing maupun aseng. Semua ini tidak lepas dari privatisasi SDA sebagai buah dari penerapan sistem ekonomi Kapitalisme.
Adanya liberalisasi SDA oleh pihak swasta merupakan akibat dari adanya penerapan ekonomi kapitalis yang menafikan adanya kepemilikan umum. Dalam sistem ekonomi kapitalis, siapa saja yang memiliki modal akan mendapatkan peluang untuk mengelola sumber daya alam.
Adapun pengelolaan tambang terhadap ormas menunjukkan buruknya sistem politik yang berjalan di negeri ini. kebijakan tersebut diduga kuat sebagai alat balas budi politik. Sebagaimana posisi Ormas memiliki peran besar dalam memenangkan salah satu pasangan dalam pemilu dan ini mempengaruhi kebijakan penguasa yang kemudian terpilih. Inilah penampakkan jati diri buruknya penerapan sistem kapitalisme.
Berbeda dengan islam yang memiliki konsep yang jelas terkait dengan pengelolaan tambang. Dalam islam telah mendudukan pengaturan kepemilikan yang dibagi menjadi tiga bagian yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Dan juga jelas disebutkan “umat islam berserikat atas tiga hal yaitu air, ladang dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya” (HR. Ahmad)
Jika merujuk hadist diatas jelas bahwa SDA khususnya barang tambang yang melimpah termasuk kekayaan dalam kepemilikan umum. Sehingga negara wajib sepenuhnya mengelola SDA tersebut dan hasilnya dikembalikan kepada umat, apakah berupa bentuk barang tambang jadi yang dapat langsung dikomsumsi atau dalam bentuk lain semisal fasilitas hidup seperti pembangunan gedung kesehatan, pembangunan rumah sakit maupun jembatan. Alhasil, haram hukumnya menyerahkan kepada pihak individu, swasta maupun ormas yang mengelolanya.
Dengan demikian, dengan adanya kebijakan tersebut menjadikan tata kelola pertambangan yang menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, karena hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, namun sungguh sangat berbeda jika pengelolaan ditangan swasta yang hanya segelintir orang dapat menikmatinya. Bahkan dapat memperoleh keuntungan, jika barang tambang dikelola oleh negara. Pertama, pemasukannya bisa menjadi anggaran yang cukup besar untuk mencukupi kebutuhan negara dalam mengurusi umat. Kedua, negara bisa lepas dari ketergantungan terhadap utang luar negeri. Serta menempatkan posisi peran ormas yang semestinya menjadi garda terdepan melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengoreksi penguasa yang melanggar syariat islam. Akan tetapi, semua itu dapat terwujud jika syaratnya terpenuhi yakni hanya dengan sistem islam. Wallahua’lam bishshawwab!