Jakarta– Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR terkait Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta, sudah sesuai dengan semangat efisiensi anggaran pemerintah.
Menurut Dasco, awalnya rapat ini direncanakan berlangsung selama empat hari, tetapi kemudian dipersingkat menjadi dua hari demi penghematan biaya.
“Kemarin saya lihat rencananya empat hari disingkat menjadi dua hari dalam rangka efisiensi,” ujar Dasco dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3).
Lebih lanjut, Dasco menyebut bahwa penggunaan hotel berbintang lima sebagai lokasi rapat sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ia juga menilai rapat tersebut penting karena melibatkan berbagai pihak dari kementerian dan lembaga terkait untuk membahas pasal-pasal dalam revisi UU TNI.
“Walaupun cuma tiga pasal, tetapi pembahasannya memerlukan waktu. Dari sisi naskah akademik hingga perumusan kata-kata yang tepat, diperlukan konsinyering agar pembahasannya lebih matang,” tambahnya.
Dikritik karena Tidak Transparan
Meskipun Dasco mengklaim rapat ini efisien, publik justru mempertanyakan transparansi pembahasannya. Pasalnya, Panja Komisi I DPR menggelar rapat ini secara tiba-tiba pada Jumat (14/3) hingga Sabtu (15/3) di hotel mewah tanpa sosialisasi yang jelas kepada masyarakat.
Keputusan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk koalisi sipil yang menggelar aksi demonstrasi di lokasi rapat sebagai bentuk penolakan terhadap RUU TNI yang dinilai sarat kontroversi.
Selain dianggap terburu-buru, pembahasan RUU TNI ini juga dikecam karena kurang melibatkan partisipasi publik secara luas. Kritikus menilai bahwa revisi undang-undang yang menyangkut institusi militer seharusnya dibahas dengan lebih transparan dan inklusif.
Demonstran Dilaporkan ke Polda Metro Jaya
Protes yang dilakukan oleh koalisi sipil tidak berhenti di lokasi rapat. Kelompok masyarakat yang menolak RUU TNI kini dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Laporan ini semakin memicu perdebatan mengenai keterbukaan DPR dalam membahas kebijakan yang berdampak luas bagi masyarakat dan institusi pertahanan negara.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari DPR mengenai alasan pemilihan hotel mewah sebagai tempat rapat serta respons terhadap kritik mengenai kurangnya transparansi dalam pembahasan RUU TNI.
Dengan meningkatnya sorotan publik terhadap cara DPR membahas undang-undang, pertanyaan pun muncul: apakah efisiensi anggaran cukup menjadi alasan untuk menutup akses masyarakat terhadap proses legislasi yang seharusnya terbuka?
(d10)