Penulis: Sandyakala | Mahasiswa
Opini — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan Indonesia telah berhasil melakukan penanganan kemiskinan ekstrim. Hal ini bahkan diakui langsung oleh Bang Dunia (World Bank). Detikfinance 19/5/24.
CNBC (7/7/24) Jumlah orang miskin di Indonesia terus mengalami penurunan. Namun hal ini terjadi di tengah rendahnya standar tingkat garis kemiskinan yang diberlakukan di Indonesia. Demi mencapai mimpi menjadi negara maju, angka kemiskinan merupakan salah satu indikator yang harus menjadi fokus pemerintah. Sayangnya selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo penurunan kemiskinan memang menurun tetapi tidak signifikan.
Di tengah stagnasi ekonomi global, berbagai kebijakan strategis pemerintah berhasil menopang resiliensi ekonomi nasional. Per Maret 2024, tingkat kemiskinan melanjutkan tren menurun menjadi 9,03 persen dari 9,36 persen.
“Penduduk miskin pada Maret 2024 turun 0,68 juta orang dari Maret 2023 sehingga jumlah penduduk miskin menjadi sebesar 25,22 juta orang. Angka kemiskinan ini merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir,” ujar Kepala Badan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu, dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (05/07/2024).
Gorontalo, (ANTARA) – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo pada bulan Maret 2024 yaitu 14,57 persen, menurun 0,58 persen dari bulan Maret 2023.
Pemerintah seringkali mengklaim bahwa penurunan kemiskinan dan ketimpangan ini karena keberhasilan dari kebijakan yang dikeluarkan presiden seperti kebijakan bansos, pembangunan rusun, bantuan kredit, pelatihan usaha hingga kondisi makro ekonomi dan politik yang makin baik dan berdampak pada peningkatan investasi.
Paradoksal antara Data dan Realita
Namun demikian, banyak pihak yang meragukan kebenaran data tersebut sebab realitas yang terindra oleh rakyat justru sebaliknya. Kemiskinan kian tinggi dan ketimpangan yang makin menganga.Hal ini terlihat dari gelombang PHK massal terjadi di berbagai sektor dan banyaknya UMKM yang tumbang.
Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan sebanyak 11.000 pekerja terkena PHK sejak diterbitkannya Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan Impor.
Dilansir dari Antara, korban pengaduan PHK sebanyak kurang lebih 30.000 orang per April 2024. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri mengatakan bahwa ajuan PHK berasal dari industri padat karya dan industri berplatfom digital.
“Puluhan ribu tenaga kerja yang diajukan untuk PHK itu berasal dari industri padat karya dan industri secara kontras berplatfom digital, karena memang tidak mampu untuk eksis, dan sejumlah BUMN yang tidak mampu bertahan,” kata Indah (31/05/24).
Kemiskinan sebagai masalah struktural juga semakin terasa. Contohnya, angka stunting yang tetap tinggi karena banyak orang tua tidak mampu memberikan asupan gizi yang layak bagi anak-anak mereka. Para ayah mengalami stres akibat kehilangan pekerjaan, sementara beban ekonomi semakin berat dengan penghasilan yang terus menurun, yang pada gilirannya memicu konflik sosial. Kasus perceraian, kasus kriminalitas seperti perampokan, pembegalan, dan pencurian semakin meningkat setiap harinya.
Akibatnya, para ibu terpaksa bekerja di luar rumah untuk menopang ekonomi keluarga, meninggalkan anak-anak dalam keadaan terlantar. Beban ganda yang dipikul oleh ibu menyebabkan stres dan ketidakarmonisan dalam keluarga, yang berujung pada konflik domestik seperti KDRT hingga mutilasi. Kasus polwan yang membakar suaminya di Mojokerto adalah salah satu contoh dari krisis ekonomi yang mencekik mereka.
Tak dapat dipungkiri kemiskinan adalah akar dari berbagai masalah sosial, dan seharusnya menjadi prioritas utama yang harus ditangani dengan serius. Bukan sekadar bermain angka dengan garis standar kemiskinan buatan yang dipasang hanya untuk memberi ilusi kemajuan.
Jika kemiskinan tidak ditangani dengan sungguh-sungguh maka segala klaim tentang pengurangan kemiskinan hanyalah topeng untuk menutupi kenyataan pahit di lapangan.
Selain itu, angka kemiskinan yang diklaim “hanya” 9,03% sungguh tidak sesuai kenyataan. Siapa pun bisa melihat bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak. Masalahnya terletak pada standar garis kemiskinan yang sangat rendah.
Data BPS menunjukkan angka kemiskinan 9,03% karena menggunakan garis kemiskinan Rp601.871 per bulan per kapita. Artinya, seseorang yang mengeluarkan uang sedikit di atas angka ini per bulan tidak dianggap miskin, padahal biaya hidup di Indonesia sangat tinggi. Segala kebutuhan, dari pangan hingga pendidikan dan kesehatan, SEMUA SERBA MAHAL.
Kebijakan dan program pemerintah tak menyentuh akarmasalah
Selama era Jokowi, upaya pengentasan kemiskinan fokus pada program pemberian bantuan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), bantuan pangan non tunai (BPNT)/ Program Sembako, subsidi bahan bakar minyak (BBM), bantuan biaya pendidikan seperti program Indonesia Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH), serta Program Jaminan Kesehatan Nasional dan Jaminan Ketenagakerjaan. Sumber theconversation.com, Mei 25, 2024.
Di sisi lain, kita perlu mengapresiasi upaya pemerintah dalam menjalankan berbagai program bantuan sosial dan percepatan ekonomi. Kebijakan ini menunjukkan upaya pemerintah untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dan meningkatkan daya beli mereka. Program seperti pembangunan rusun, bantuan kredit, dan pelatihan usaha adalah langkah konkret yang patut dihargai, karena memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka.
Namun, meskipun berbagai upaya ini layak diapresiasi, sayangnya tidak menyentuh akar masalahnya: kemiskinan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan tersebut lebih sering bersifat sementara dan tidak menyelesaikan masalah mendasar yang menyebabkan kemiskinan terus bertahan. Struktur ekonomi yang tidak adil, distribusi kekayaan yang tidak merata, dan kebijakan yang tidak memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan, tetap menjadi masalah utama yang belum tersentuh.
Selama ini, perhitungan garis kemiskinan yang hanya mengandalkan aspek pengeluaran individu jelas tidak memadai. Mengukur kemiskinan semata dari sisi moneter atau peredaran uang justru mengaburkan definisi dan skala dari kemiskinan itu sendiri. Ini menyebabkan fokus kebijakan dan program pemerintah cenderung bersifat sementara dan tidak tepat sasaran.
Adapun, Bantuan Sosial dari pemerintah jauh dari mencukupi. Selain sering salah sasaran, jumlahnya pun tidak mampu menutupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Kebijakan pemerintah justru semakin membebani masyarakat. Jika kemiskinan hanya dilihat dari segi pendapatan, tentunya kebijakan berupa bantuan sosial sudah cukup menjawab permasalahan secara logis. Namun, kenyataannya, penyaluran bansos sering kali justru melahirkan masalah lainnya, seperti ketergantungan masyarakat pada bantuan pemerintah, pendataan yang tidak akurat, dan moral hazard di mana penerima bansos tidak sesuai dengan kriteria yang layak. Semua ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis moneter terhadap kemiskinan adalah solusi yang jauh dari kata efektif.
Inilah dampak jika hanya bermain-main dengan data statistik tanpa serius mengatasi kemiskinan. Tidak mengherankan dalam sistem politik demokrasi kapitalisme, rezim kerap bermain angka untuk memperbaiki citranya, hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya, di akhir era kepemimpinan SBY pada tahun 2014, BPS merilis data yang menunjukkan penurunan angka kemiskinan sebagai bukti keberhasilan pemerintah.
Islam dan Penghapusan Politik Angka
Politik angka adalah alat khas kapitalisme demokrasi yang sering digunakan untuk menipu masyarakat dengan statistik palsu. Dalam Islam, angka hanyalah instrumen untuk menyelesaikan masalah, karena penguasa Islam benar-benar tulus dalam mengurus urusan rakyatnya, berbeda dari penguasa oligarki yang hanya memanfaatkan rakyat untuk kepentingan pribadi.
Bagaimana Islam Menyelesaikan Masalah Kemiskinan?
Jaminan Kebutuhan Primer
Islam memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhan primernya—sandang, pangan, dan papan. Jaminan ini tidak berarti memberikan sembako gratis yang menciptakan ketergantungan, tetapi mengimplementasikan mekanisme efektif untuk mengangkat keluarga dari kemiskinan.
Pertama kewajiban Bekerja: Setiap kepala keluarga diwajibkan bekerja, dengan dukungan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja.
Kedua kewajiban Kerabat: Kerabat dekat harus membantu jika seseorang tidak mampu bekerja karena cacat.
Ketiga kewajiban Negara: Negara bertanggung jawab memberikan santunan kepada mereka yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki kerabat untuk menafkahi.
Kempat kewajiban Kaum Muslim: Jika kas negara kosong, kaum muslim yang mampu harus memberikan bantuan, baik langsung atau melalui negara yang memungut dharibah dari orang kaya untuk diberikan kepada yang miskin.
Aturan Kepemilikan
Sistem kepemilikan dalam Islam tidak tertandingi oleh sistem manapun. Aturan ini mengatasi kemiskinan secara menyeluruh dengan mengatur jenis kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi kekayaan.
Pertama jenis Kepemilikan: Islam membagi kepemilikan menjadi individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu memotivasi kerja keras, kepemilikan umum melibatkan publik tanpa dominasi individu, dan kepemilikan negara meliputi harta yang dikelola oleh khalifah.
Kedua pengelolaan Kepemilikan: Harta dikelola dengan cara yang sesuai syariat, seperti larangan investasi ribawi, untuk memastikan sirkulasi harta hanya di sektor riil.
Ketiga distribusi Kekayaan: Dalam kapitalisme, distribusi hanya bergantung pada harga, sementara Islam mewajibkan negara mendistribusikan harta kepada yang membutuhkan. Warisan dan harta dikelola berdasarkan ketentuan syariat, memastikan distribusi kekayaan yang adil.
Dengan sistem yang terintegrasi ini, Islam memberikan solusi menyeluruh terhadap kemiskinan, berbeda dengan pendekatan politik angka yang hanya memperdaya dan tidak menyelesaikan masalah sebenarnya. Sistem kapitalisme telah terbukti gagal dalam menciptakan kesejahteraan yang merata. Sudah saatnya kita beralih ke sistem yang benar-benar peduli pada kesejahteraan umatnya, yaitu sistem Islam yang kaffah di bawah naungan Daulah Islamiyah.
Wallahualam bissawab.