Opini — Tenaga kesehatan di Indonesia kini telah dirundung duka, Pemecatan terhadap 249 tenaga kesehatan (Nakes) non-ASN di Manggarai, NTT dan gagalnya 500 bidan pendidik diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) kembali menjadi perbincangan publik.
Pemecatan terhadap 249 tenaga kerja terjadi setelah adanya demonstrasi mengenai permintaan perpanjangan Surat Perintah Kerja (SPK) dan kenaikan upah. Adapun adanya pembatalan 500 bidan pendidik diangkat sebagai P3K karena adanya surat edaran yang memuat memuat poin-poin penyebab tidak terpenuhinya kualifikasi penerbitan NIP3K dan SK untuk kami. Menurut SE ini D4 Bidan Pendidik tidak setara dengan D4 Kebidanan atau bisa dikatakan karena persoalan gelar pendidik dan nomenklatur jabatan fungsional yang dibutuhkan tidak sesuai.
Dari dua peristiwa ini, telah menuai sorota dari berbagai pihak salah satunya Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati menyebutkan, pemecatan 249 Nakes dan gagalnya pengangkatan 500-an bidan pendidik menjadi PPPK mencerminkan jika penghargaan atas profesi tersebut masih minim di Indonesia. Padahal posisi para nakes inilah yang kemudian telah berjasa khususnya beberapa tahun kebelakang pada saat pandemi.
Bukti Negara Abai Dalam Mewujudkan Kesejahteraan
Adanya peristiwa demonstrasi menuntut adanya kenaikan gaji tidak hanya terjadi satu atau dua kali melainkan sudah berulang kali dari tahun ke tahun. Sayangnya, nasib mereka tak banyak berubah, Maraknya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para pekerja sejatinya menunjukkan bahwa kesejahteraan masih sebatas harapan hingga harus terus diperjuangkan oleh rakyat di negeri ini.
Sejatinya persoalan pemerintah terkait kekurangan dana dalam mengaji para nakes ini tidak lain dampak dari penerapan sistem kehidupan kapitalisme. Sebab sistem inilah yang kemudian menjadi posisi negara semakin miskin ditengah tumpukan SDA yang melimpah. Sistem inilah yang membolehkan siapa pun mengelola SDA, sehingga jika SDA dikelola oleh swasta apalagi asing, tentu keuntungan besar akan masuk pada kantong mereka sedang posisi kita sebagai pemilik SDA justru tidak mampu menikmatinya.
Padahal kalau kita telusuri posisi NTT justru banyak memiliki SDA yang melimpah diantaranya logam mangan. Bukan hanya itu, emas, batu bara, nikel, tembaga, dll. Namun sayangnya, semua SDA dikelola oleh asing. Andai saja semua itu dikelola pemerintah, sudah pasti bukan hanya gaji nakes saja yang beres, BAKN kemiskinan yang melanda NTT pun akan segera usai.
Begitupun hany dengan peristiwa gagalnya atau dibatalknya 500 an bidan pendidik menjadi P3K, merupakan bukti bahwa negara abai dala menjamin ketersediaan ya lapangan pekerjaan. Alih-alih menyiapkan lapangan pekerjaan yang ada rakyat justru di berikan harapan palsu dan dikecewakan.
Negara telah kehilangan peranya dalam mengurusi rakyat yang ada justru semakin menzolimi rakyat. Bukankah pemecatan nakes dan pembatalan 500 yang telah lulus P3K merupakan suatu kezoliman?
Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru dengan peristiwa ini justru semakin menambah jumlah pengangguran. Pemerintahlah yang seharusnya menjadi solusi atas permasalahan rakyat, bukan justru menambah beban bagi rakyat. Namun, inilah realitas pengurusan rakyat dalam sistem kapitalisme. Alih-alih menertibkan, pejabat negara justru menggunakan kekuasaannya untuk menekan dan memecat rakyatnya. Karena itu, berharap kesejahteraan dalam sistem yang tidak memprioritaskan kesejahteraan rakyat, ibarat melukis diatas air.
Kesejahteraan Hakiki Yang Menjadi Dambaan Rakyat
Jika dalam sistem kapitalisme bahwa kesejahteraan hanya sebatas angan-angan, maka berbeda dengan islam. Islam berpandangan bahwa pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh pemenuhan kebutuhan rakyat yakni negara, mulai dari jaminan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu seperti pangan, sandang dan papan, maka negara bertindak dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Oleh karena itu, setiap laki-laki dewasa yang sehat maka wajib bekerja untuk menafkahi keluarganya. Sementara itu, bagi rakyat yang lemah maka akan diberi santunan oleh negara. Sedangkan untuk kesehatan, pendidikan, dan keamanan, negara memenuhinya secara gratis terhadap seluruh rakyat. Dengan kebijakan ini, maka rakyat tidak akan terbebani tanggungan yang berat karena ada jaminan dari negara.
Disisi lain, Islam mempunyai pandangan berbeda mengenai upah bagi para pekerja. Dimana upah tidak diberikan sesuai kebutuhan dasar pekerja atau dalam sistem kapitalisme dikenal sebagai sebutan upah minimun, tetapi upah sesuai nilai manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja. Dengan demikian, tidak ada satu pihak pun yang dapat melakukan ketidakadilan terhadap pihak lainnya.
Selain memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, negara juga berperan dalam pemutus konflik antara pekerja dengan pemberi kerja. Jika terjadi kontrak yang tidak adil, upah tidak mencukupi, upah tidak dibayarkan, pekerja tidak bekerja sesuai kontrak yang disepakati, dan sebagainya, maka negara wajib hadir sebagai pemutus perkara tersebut. Hal ni sangat diperhatikan oleh negara serta negara benar-benar memikirkan agar rakyat yang berada dibawah tanggung jawabnya bisa memiliki pekerjaan. Alhasil, dengan hadirnya negara dengan fungsinya yang shahih maka kesejahteraan yang sesungguhnya daoat dirasakan oleh setiap individu karena terpenuhinya kebutuhan mereka. Tidak saja kebutuhan fisik, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan layanan kesehatan, tetapi juga kebutuhan nonfisik. Sehingga terwujudnya hal ini merupakan suatu keniscayaan jika diterapkannya Islam secara keseluruhan, sebab islam merupakan agama paripurna yang menjadi solusi terhadap persoalan manusia. Wallahua’lam bishshowab.
Oleh : Tri Ningrum (Aktivis Muslimah)