Mataram – Dalam semangat membangun Indonesia secara adil dan merata, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan pendekatan baru yang lebih inklusif: menggandeng kekuatan lokal berbasis keagamaan sebagai mitra dalam program reforma agraria. Kali ini, Nahdlatul Wathan (NW) menjadi entitas strategis yang diajak langsung berkolaborasi oleh Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid.
Langkah ini menandai pergeseran paradigma penting dalam kebijakan pengelolaan pertanahan nasional, di mana negara tidak hanya menjadi pelaksana teknokratik, tetapi juga fasilitator keadilan sosial berbasis kultural dan spiritual masyarakat.
“Kami tidak ingin membiarkan organisasi besar seperti Nahdlatul Wathan hanya menjadi penonton dalam pembangunan nasional. Justru mereka adalah bagian dari solusi mengatasi ketimpangan penguasaan tanah yang masih menjadi warisan sejarah,” ujar Menteri Nusron saat menghadiri Peringatan Hari Jadi ke-72 Nahdlatul Wathan di Kota Mataram, NTB, Kamis (1/5/2025).
Nahdlatul Wathan, sebagai organisasi Islam terbesar di Nusa Tenggara Barat dengan jaringan pesantren dan pendidikan yang kuat, dinilai memiliki peran strategis dalam mendistribusikan manfaat reforma agraria secara lebih tepat sasaran, terutama bagi komunitas akar rumput. Menteri Nusron menggarisbawahi pentingnya menyentuh aspek spiritualitas dalam kebijakan tanah yang kerap dianggap teknis dan birokratis.
“Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tapi juga sumber martabat. Dengan menggandeng organisasi berbasis agama seperti NW, kita menyatukan semangat perjuangan agraria dengan nilai-nilai keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat,” tambahnya.
Berbeda dari kerja sama seremonial semata, keterlibatan Nahdlatul Wathan diposisikan sebagai mitra aktif dalam implementasi di lapangan, mulai dari penyuluhan hukum pertanahan, pendampingan proses sertifikasi, hingga pengawasan sosial atas potensi konflik lahan.
Model kemitraan seperti ini sebelumnya telah dijalankan bersama PBNU, Muhammadiyah, Persis, dan MUI, namun pelibatan Nahdlatul Wathan menjadi penting mengingat kekuatan historis dan lokalitasnya yang kental di kawasan timur Indonesia.
Di tengah transformasi agraria nasional, Menteri Nusron menegaskan pentingnya menghapus dikotomi “pusat dan daerah” maupun “mayoritas dan minoritas” dalam proses pembangunan.
“Tak ada yang boleh tertinggal dalam gerbong pembangunan. Siapa pun yang memiliki komitmen terhadap keadilan agraria harus dilibatkan. Pemerintah bukan pemain tunggal,” ujarnya dengan tegas.
Langkah ini sekaligus memperkuat narasi bahwa reforma agraria bukan hanya proyek kebijakan, melainkan gerakan sosial yang menuntut partisipasi luas dari semua elemen bangsa. (Ad/d09)