Penulis: Sandyakala | Mahasiswa
Opini — Maraknya kasus asusila di lingkungan pendidikan menuntut kita untuk melihat masalah ini secara menyeluruh. Ini bukan hanya soal hukuman bagi pelaku atau trauma bagi korban.
Sejatinya anak-anak mendapatkan perlindungan dan keamanan di bawah naungan orang tua, guru, dan lingkungan mereka. Namun, apa jadinya jika para pelindung ini justru menjadi ancaman terbesar ? Di mana lagi mereka bisa berlindung?
Melansir detikEdu Sabtu, 10 Agu 2024 Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan ada 101 korban kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang tahun 2024. Sebesar 69% adalah anak laki-laki dan 31% anak perempuan.
Adapun 62,5% kasus terjadi jenjang pendidikan SMP/MTs/Ponpes dan 37,5% kasus KS terjadi di jenjang pendidikan SD/MI. Kasus-kasus ini hanya sebagian dari yang terpetakan oleh FSGI selama Januari- Agustus 2024.
Angka kekerasan terhadap anak yang tinggi ini menjadi bukti nyata bahwa ancaman terhadap anak-anak di Indonesia sangat serius, dan ironisnya, lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak justru menjadi salah satu tempat terjadinya kekerasan, termasuk kejahatan seksual.
Dilansir dari tempo.co, modus pelaku kejahatan di sekolah bermacam-macam. Di antaranya ialah korban diajar mata pelajaran hingga suasana sepi, diajak menonton film porno saat jam istirahat, korban diancam akan mendapat nilai jelek, diberi uang oleh pelaku, hingga dipacari.
Seperti yang belakangan ini ramai diperbincangkan Skandal seksual guru dan siswi Madrasah Aliyah Negeri 1 Gorontalo mengguncang jagat maya. Melansir Kompas TV, Potongan video seorang guru dan siswi di Kabupaten Gorontalo berbuat asusila viral di media sosial X. Video yang diduga berdurasi 5 menit 48 detik tersebut memperlihatkan adegan tidak senonoh antara siswa dan guru berhubungan seksual di sebuah kamar kos. (25/9/24)
Bahaya Kejahatan Seksual
Guru, dalam tradisi Jawa, adalah “digugu dan ditiru,” simbol kepercayaan dan panutan. Namun, apa jadinya jika guru, yang seharusnya menjadi teladan moral, justru melakukan tindak asusila? Kejahatan seksual yang dilakukan guru bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah suci mendidik generasi. Ganjilnya, tindakan bejat ini justru dilakukan leh pendidik itu sendiri. Hal ini tentunya berpotensi menular hingga menyeret siswa ke dalam jurang moral yang sama.
Merespon kasus di atas, organisasi kedutaan yang diikuti korban, dalam hal ini ialah forum yang aktif dalam menyuarakan isu kekerasan seksual dan hak kesehatan seksual bagi remja menyebutkan akan berupaya dalam mengedukasi remaja secara komprehensif. Selain itu juga memberikan pernyataan sikap komitmen untuk memberikan pendampingan hukum dan psikososial kepada korban.
Tragedi ini seharusnya menjadi momentum untuk merenung. Kita tak boleh terjebak dalam siklus penanganan pasca-kasus, hanya berfokus pada penyembuhan luka tanpa menelusuri akar masalahnya.
Bayangkan sebuah pohon yang tumbang akibat angin kencang. Kita bisa sibuk membersihkan dahan yang patah, mengobati luka akibat pohon tumbang, namun melupakan akar masalahnya: yaitu pohon yang rapuh dan tak terawat. Begitu pula dengan kasus ini, kita perlu menggali akar permasalahan yang menyebabkan remaja rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi.
Sosialisasi yang diberikan selama ini, meskipun bermaksud baik, ternyata belum mampu menembus tembok ketidaksadaran dan membentuk remaja menjadi pribadi yang tangguh dan berdaya.
Di sisi lain, institusi sekolah, dalam upaya mengembalikan nama baiknya, memilih untuk berlindung di balik slogan “Akhlak dan Moral adalah milik personal, bukan milik institusi.”
Pernyataan ini, selain terdengar seperti upaya cuci tangan, juga mengabaikan peran fundamental lembaga pendidikan dalam membentuk karakter dan moral para siswanya. Jika lembaga pendidikan, khususnya yang berbasis Islam seperti di salah satumadrasah yang ada di Gorontalo, berlepas tangan dari tanggung jawab membentuk akhlak dan moral, lalu siapa lagi yang akan menanamkan nilai-nilai luhur tersebut?
Pertanyaan ini mengantarkan kita pada realitas: Lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng moral dan etika, justru menunjukkan ketidakmampuannya dalam menanggulangi perilaku menyimpang yang terjadi di dalamnya. Alih-alih melakukan introspeksi dan mencari solusi sistematis, mereka lebih memilih untuk mengalihkan kesalahan kepada “oknum” dan menutup mata terhadap sistemik yang mungkin telah melahirkan perilaku tersebut.
PadahalIni bukan sekadar masalah “oknum”, melainkan sebuah cerminan dari kegagalan institusi dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembentuk karakter. Lembaga pendidikan yang berbasis Islam, seharusnya menjadi contoh dalam menerapkan nilai-nilai moral dan karakter.
Buah Penerapan Sistem Kehidupan yang Rusak
Inilah buah daripada penerapan sistem kehidupan yang diterapkan hari ini. Sistem sekuler kapitalisme, dengan pemisahan agama dari kehidupan publik, telah menjadi norma dalam masyarakat modern. Hingga merasuki dunia pendidikan yang dalam penerapannya sekuler kapitalis telah gagal dalam membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berlandaskan nilai-nilai Islam. Hal ini berkorelasi erat dengan maraknya kasus asusila pada anak.
Sistem pendidikan sekuler kapitalis cenderung mengutamakan aspek materialistik dan individualistik, mengabaikan nilai-nilai spiritual dan moral. Kurikulum pendidikan yang berbasis sekuler tidak mampu menanamkan nilai-nilai keimanan dan moral yang kuat pada generasi muda. Akibatnya, generasi muda menjadi rentan terhadap pengaruh negatif dan mudah terjerumus dalam perilaku asusila.
Sistem pendidikan sekuler kapitalis juga cenderung mengeksploitasi potensi anak untuk keuntungan ekonomi. Anak-anak didorong untuk mengejar prestasi dan kesuksesan materi saja, tanpa diberikan pendidikan moral yang memadai. Hal ini mengakibatkan hilangnya nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan empati, yang pada akhirnya berujung pada perilaku asusila dan tindak amoral lainnya.
Sistem sekuler kapitalisme yang telah melahirkan liberalismekini telah merusak fondasi kehidupan manusia dengan mengikis nilai-nilai keimanan dan mengabaikan syariat Islam.
Akibatnya, kaum muslim kehilangan pemahaman yang benar tentang Islam, hanya melihatnya sebagai sekumpulan ritual. Hukum Islam terpinggirkan, digantikan oleh hukum buatan manusia yang mendominasi kehidupan sosial. Padahal, Islam memiliki solusi yang komprehensif dan efektif untuk mengatasi masalah asusila dan kekerasan seksual.
Hakikat Pendidkan Dalam Islam
Islam merupakan akidah yang memnacarkan sebuah aturan. Aturan yang berisi hukum dan tata cara pelaksanaannya, yang digali berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadist. Dalam islam, pendidikan dibangun bukan untuk mengejar nilai dunia. Pendidikan dalam Islam memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk membantu manusia memahami tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Pendidikan Islam menekankan pentingnya mengenal Sang Pencipta, menjalankan aturan-aturan-Nya, dan menjadi umat terbaik dengan menjalankan ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupan.
Namun, sistem pendidikan saat ini, menurut perspektif Islam, masih jauh dari ideal. Banyak anak didik yang menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti pergaulan bebas, aborsi, dan bullying. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan gagal dalam membentuk generasi yang sholih dan berintelektual.
Pendidikan dalam Islam menekankan pentingnya tanggung jawab institusi dalam membentuk karakter dan perilaku individu. Dalam Islam, pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan akhlak mulia. Institusi pendidikan, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat, memiliki peran vital dalam proses ini. Al-Quran menegaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 2-3, “Dia mengajarkan Al-Quran, Dia menciptakan manusia.” Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan fitrah yang suci dan memberikan kemampuan untuk belajar. Namun, pendidikan dan lingkungan sangat berpengaruh dalam membentuk karakter seseorang.
Oleh karena itu, harus ada sistem pendidikan yang tepat untuk membentuk generasi islami, setidaknya memiliki tiga kompetensi dasar. Salah satu diantaranya adalah sekolah yang membentuk anak didik berkepribadian islam yang tercermin pada pola pikir dan pola sikapnya yang sesuai dengan ajaran islam. Adapun metode yang diterapkan ialah metode Talqiyan Fikriyan (transfer pemikiran) yang menekankan pemahaman dan internalisasi nilai-nilai islam. Metode yang tidak hanya sekadar mngahafalkan teks, namun mendorong pemahaman konseptual dan aplikatif. Berbeda dengan pendidikan hari ini yang bersifat transfer pengetahuan saja sehingga tak jarang kita temukan siswa siswi yang tidak mencerminkab perilaku sebagai orang yang terpelajar.
Keberhasilan penerapan sistem pendidikan yang baik juga ditentukan oleh kualitas tenaga pendidik.Pendidik dalam islam adalah seorang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Profesi dalam islam ditujukan pada pengabdian dua objek. Pertama, pengabdian kepada Allah, kedua sebagai dedikasi kepada orang lain. Begitu pula semua yang dilakukan dalam pendidikan harus sesuai dengan pandangan islam. Bagi anak didik, guru adalah yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia dan meluruskannya bukan malah ikut terjerumus dalam hal yang merusak generasi.
Adapun islam dalam menangani masalah yang ada dalam masyarakat selalu memberikan solusi yang solutif, sanksi tegas kepada pelaku zina hingga hukuman mati. Bukan hanya mencari solusi kuratif, islam juga menyelesaikan masalah dengan solusi yang bersifat preventif/pencegahan. Dalam hal ini islam mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan, batasan-batasan interaksi guru dan siswa.
Demikianlah islam memang memiliki potensi luar biasa dalam mencetak generasi bangsa yang berakhlak mulia tidak hanya memiliki iman dan aqidah yang kuat tetapi juga mampu memberikan dedikasi yang luar biasa untuk negara. Ajaran Islam yang komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan, memberikan kerangka moral yang kuat dan panduan yang jelas untuk membangun karakter yang luhur.
Wallahu’alam bishowab