Jilid Hukum Mati Akal Sehat

Dailypost.id
Ilustrasi/ist
Oleh: Sandyakala

DAILYPOST.ID Opini – Sudah terlalu sering terdengar. Terlalu banyak dibaca. Sejumlah pemberitaan dan penelitian silih berganti membunyikan alarm: kejahatan seksual, termasuk pelecehan terhadap anak, terus meningkat, berbicara di ruang pendidikan, ruang publik, hingga di rumah sendiri. Tetapi saat ini entah kenapa, peringatan itu terasa seperti gema kosong mengulang dan terus mengulang, tanpa pernah benar-benar didengar.

Menyebutkan data rasanya tak lagi relevan. Semua orang sudah tahu, atau setidaknya pernah melihat sepintas lalu: judul berita yang menjijikkan, video pengakuan korban, wajah pelaku dari kelas sosial paling bawah hingga para intelektual dan tokoh agama, yang katanya generasi terdidik pembawa tonggak perubahan bangsa. Apa gunanya lagi angka, kalau luka itu sudah terlalu nyata?

Tiap lembar laporan hanya menambah sesak. Bukan karena keterkejutan, tapi karena jenuh, bukan pada korban, tentu saja, tapi pada dunia yang terus membiarkan ini terjadi. Pada sistem yang gagal melindungi, pada masyarakat yang cepat lupa, dan pada pelaku yang tak jera. Lebih mengejutkan bukan lagi kasusnya, tapi betapa biasa ia diperlakukan.

Di tengah kejenuhan yang telah mengendap dalam hati banyak orang, betapa pertanyaan “Hal apa yang bisa menyolusi jika semua tatanan telah rusak dan tak dapat dipercaya?” Tentu sebelum mendapatkan jawabannya perlu untuk terlebih dahulu mengetahui hal apa yang membuat ia semakin tumbuh subur. Salah satu penyebab mengapa kejahatan seksual terus tumbuh subur, sebagaimana disebut dalam salah satu jurnal pendidikan, adalah karena ada pembiaran terhadap perilaku tidak bermoral. Inilah wajah sistem sekuler: memberi panggung bagi kebebasan tanpa batas. Di bawah jargon “kebebasan individu”, hubungan seksual di luar pernikahan dianggap bukan kriminal jika saling menginginkan.

Baca Juga:   Ribuan Tenaga Honorer Dirumahkan, Harapan Sejahtera Kian Terhapuskan?

Perilaku demikian pun lepas dari jerat hukum karena hukum hari ini tunduk pada definisi sempit tentang “kerugian”, sungguh hari jni akal sehat benar-benar telah mati.

Hadirnya solusi yang tak menyolusi
Anehnya, solusi yang diusulkan justru edukasi seks dengan pendekatan “aman dan sehat”. Padahal, ketergantungan terhadap aktivitas seksual bisa menyeret individu ke jurang kecanduan. Tidak sedikit dari kasus kekerasan seksual justru berakar dari terbukanya celah ini.

Sejumlah undang-undang seperti UU TPKS dan UU Perlindungan Anak, bahkan hingga kebijakan kebiri kimia, tetap gagal menyentuh akar persoalan. Regulasi demi regulasi hanya sebatas kosmetik yang tidak pernah menyentuh pembusukan sistem. Apalagi publik sudah mafhum: keadilan bisa dibeli. Wajar jika kejahatan ini terus menjamur.

Kerusakan ini diperparah oleh banjirnya konten sensual di media. Pornografi, gaya hidup vulgar, dan budaya permisif begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak. Ironisnya, negara terlihat tak berdaya atau mungkin memang tak sungguh-sungguh. Demi keuntungan materi, moral generasi dijadikan tumbal. Inilah potret nyata dari sistem sekuler demokrasi kapitalisme: tatanan rusak yang bersumber dari akal manusia yang terbatas. Ia gagal membangun individu bertakwa, gagal membentuk lingkungan yang aman, dan gagal menjalankan kontrol sosial. Amar makruf nahi mungkar dicemooh, sementara “privasi” dijadikan tameng untuk melindungi kebejatan.

Baca Juga:   Perangkap Kemiskinan Gorontalo

Selama sistem ini masih dijadikan pijakan, selama itu pula kasus pelecehan seksual akan terus menjadi berita yang membosankan karena terlalu sering terjadi. Bukan karena sudah selesai, tapi karena sudah terlalu biasa.

Sebuah sistem yang menutup rapat terjadinya kejahatan seksual
Di tengah kegagalan total ini, Islam hadir membawa seperangkat aturan yang bukan hanya menyentuh gejala, tapi menutup rapat akar masalah. Sebagai sistem hidup yang paripurna, Islam menata relasi antara laki-laki dan perempuan dengan aturan jelas dan tegas dikenal sebagai sistem pergaulan Islam.

Di antara aturan itu adalah: kewajiban menundukkan pandangan, larangan khalwat (berduaan dengan non-mahram), keharusan menutup aurat dengan sempurna, pembatasan interaksi yang hanya diperbolehkan dalam ruang muamalah yang dibenarkan, serta pemisahan ruang publik dan kegiatan antara pria dan wanita. Islam juga membatasi mobilitas perempuan tanpa pendamping mahram, bukan untuk mengekang, melainkan sebagai penjagaan kehormatan dan perlindungan dari bahaya.

Aturan ini bukan hanya diajarkan, tapi diterapkan secara konkret oleh negara dalam sistem Islam. Sistem pendidikan Islam juga mendidik berdasarkan akidah, bukan sekadar pengetahuan kosong. Ilmu dipelajari untuk diamalkan, bukan untuk mengejar nilai. Ketaatan bukan lahir dari ketakutan terhadap sanksi, melainkan tumbuh dari iman.

Negara dalam sistem Islam juga tidak akan mentoleransi media yang menyebarkan pornografi, pornoaksi, atau konten seksual lainnya. Semua itu akan diberantas secara menyeluruh sebagai bagian dari penjagaan masyarakat dari pemicu maksiat. Masyarakat pun tidak menjadi apatis. Amar makruf nahi mungkar adalah identitas kolektif yang dijaga. Rasulullah saw. mengingatkan, jika kemungkaran dibiarkan, maka kehancuran akan melanda semuanya, baik yang aktif dalam maksiat, maupun yang diam membiarkannya.

Baca Juga:   Maraknya Hubungan Sedarah dalam Sistem Sekuler Kapitalisme

Dan bila pelanggaran tetap terjadi, sistem sanksi Islam akan ditegakkan dengan tegas. Pelaku zina yang belum menikah dicambuk seratus kali, sementara pezina yang telah menikah akan dirajam sampai mati. Untuk perbuatan cabul yang tidak mencapai level zina, dikenakan hukuman takzir sesuai kebijaksanaan khalifah. Sanksi dalam Islam bukan hanya memberi efek jera, tapi juga berfungsi sebagai kafarat, penebus dosa di hadapan Allah.

Inilah sistem yang benar-benar memagari masyarakat dari bahaya pelecehan seksual. Bukan solusi tambal sulam, bukan pembiaran dengan alasan hak individu, bukan pula edukasi permisif yang membuka celah baru. Tapi solusi utuh yang menyentuh akar dan menutup pintu-pintu menuju kerusakan.

Penerapan Islam sebagai sistem kehidupan secara menyeluruh bukan hanya tuntutan teologis, tetapi kebutuhan nyata. Ketika hukum buatan manusia telah gagal, ketika lembaga moral ikut hancur, dan ketika masyarakat tak lagi punya daya jaga, maka satu-satunya jalan adalah kembali kepada sistem Ilahi yang menjamin keselamatan, kehormatan, dan kesucian. Kebutuhan terhadap institusi pelaksana syariat Islam secara kaffah bukanlah mimpi utopis, tetapi keniscayaan yang tak bisa ditunda.

Share:   
https://wa.wizard.id/003a1b

FOLLOW US ON FACEBOOK
FOLLOW US ON INSTAGRAM
FOLLOW US ON TIKTOK
@dailypost.id
ekakraf multimedia