Oleh: Sandy Kala | Mahasiswa
Opini — Yusuf Permana, Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden, mengapresiasi hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Joko Widodo. Survei terbaru ini mencatat bahwa mendekati akhir masa jabatan, kepuasan masyarakat terhadap Jokowi mencapai 75 persen.
Dilaporkan oleh Tempo.co (04/10/24), Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menyebutkan bahwa 30,4 persen responden menilai upaya pemberantasan korupsi kurang memuaskan, sementara 7,3 persen lainnya menganggapnya sangat buruk.
Setelah ditelaah lebih dalam, survei yang menunjukkan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap 10 tahun kepemimpinan Jokowi justru berbeda jauh dari realitas di lapangan. Fakta di lapangan dan perkembangan di media sosial justru memperlihatkan gelombang kritik serta ketidakpuasan yang kerap muncul ke permukaan, bahkan sering kali dengan narasi yang keras dan vulgar.
Tentu hal ini menunjukkan inkonsistensi yang jelas. Tidak perlu menengok 10 tahun ke belakang—cukup satu tahun terakhir saja sudah memperlihatkan bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah semakin mencekik rakyat. Regulasi-regulasi baru yang diterbitkan bahkan terkesan “nggak ngotak” dan jauh dari prinsip keberpihakan pada rakyat. Tidakkah semua ini cukup menjadi bukti bahwa negara ini sedang mengalami krisis kebijakan?
Antipati Terhadap Survei
Survei yang menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi kerap kali dijadikan rujukan untuk menggambarkan pemerintahan yang seolah-olah berhasil dalam mengelola negara. Seperti yang ditunjukkan oleh survei terbaru yang menyatakan bahwa mayoritas publik puas dengan kinerja Presiden. Penilaian bahwa pemerintah berhasil mengurus rakyat sering kali hanya merupakan pencitraan belaka, sementara di balik layar, kondisi masyarakat jauh dari kata sejahtera.
Tidak bisa dipungkiri, pencitraan melalui survei-survei seperti ini menjadi alat propaganda yang ampuh dalam menjaga citra pemerintah. Hasil survei yang menyatakan bahwa masyarakat puas terhadap kinerja pemerintah tidak sepenuhnya mencerminkan realitas yang dialami oleh rakyat sehari-hari. Sebaliknya, negara masih menghadapi persoalan besar yang belum tertangani dengan baik.
Kebijakan seperti naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pembatasan subsidi BBM, serta sejumlah regulasi lainnya, menjadi bukti nyata keberpihakan pemerintah kepada oligarki ketimbang rakyat kecil. PPN yang dinaikkan jelas memberatkan rakyat, terutama mereka yang berada di lapisan bawah, karena harga-harga barang dan jasa turut naik. Subsidi BBM yang semakin dibatasi juga membuat rakyat semakin tercekik di tengah melonjaknya biaya hidup. Pemerintah tampak lebih berpihak pada kepentingan ekonomi kaum elit, sementara rakyat dibiarkan terhimpit oleh kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan mereka.
Pemberantasan Korupsi yang Buruk
Di tengah upaya pencitraan ini, Direktur Indikator Politik Indonesia justru mengungkapkan penilaian negatif terhadap pemberantasan korupsi di era Jokowi. Mayoritas responden menilai bahwa kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi buruk, sebuah ironi di tengah gembar-gembor keberhasilan kinerja pemerintah yang disampaikan dalam survei sebelumnya. Fakta ini semakin menegaskan adanya inkonsistensi antara apa yang dikampanyekan pemerintah dengan realitas di lapangan.
Korupsi masih menjadi masalah besar yang terus menggerogoti fondasi negara. Buya Syafi’i Maarif pernah berkata, “Hari depan Indonesia akan tergantung kepada berhasil atau gagalnya bangsa ini melawan korupsi ini. Jika berhasil, ada harapan bahwa Indonesia masih punya masa depan. Sebaliknya, jika gagal, mungkin masih ada masa depan, tetapi sebuah masa depan yang gelap gulita.”
Sayangnya, kegelapan itu sudah lama menyelimuti negeri ini, dan penyebabnya tidak hanya korupsi yang merajalela, tetapi juga sistem demokrasi kapitalisme yang menjadi akar dari berbagai persoalan.
Sistem demokrasi kapitalis yang diadopsi hari ini sejatinya telah menciptakan celah bagi para oligarki untuk terus memperkaya diri sendiri, sementara rakyat menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan mereka. Demokrasi, yang seharusnya mewakili suara rakyat, justru menjadi alat untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan segelintir elit. Kapitalisme, yang menekankan keuntungan materi di atas segala hal, telah menggerogoti sendi-sendi keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Kebijakan ekonomi yang menguntungkan para pemodal besar—seperti kenaikan PPN, pembatasan subsidi BBM, dan deregulasi sumber daya alam—semakin memperlihatkan bahwa demokrasi kapitalis tidak mampu menjadi sistem yang adil bagi semua pihak.
Korupsi dalam sistem ini tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, tetapi juga melekat dalam struktur dan mekanisme pengambilan kebijakan. Setiap langkah yang diambil selalu diwarnai kepentingan oligarki, yang dengan kekuatan finansialnya, mampu memengaruhi jalannya pemerintahan dan kebijakan negara.
Ketika pemerintahan seharusnya fokus pada pelayanan rakyat, mereka justru lebih banyak berkutat dengan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang sempit. Kasus korupsi yang semakin merajalela, pelecehan di tengah kalangan pemuda, meningkatnya biaya pendidikan, dan sederet permasalahan lainnya menjadi bukti nyata bahwa pemerintah tidak lagi mampu merespons kebutuhan rakyat. Akibatnya, berbagai janji politik hanya menjadi narasi kosong tanpa implementasi nyata yang menyejahterakan rakyat. Inilah mengapa, di tengah ketidakmampuan tersebut, pemerintah merasa perlu membangun citra baru untuk memperbaiki pandangan publik.