NARASI SESAT DALAM RETORIKA, MASYARAKAT SEMAKIN MENDERITA

vector tax concept,template

DAILYPOST.ID Opini– Baru-baru ini tepatnya per tanggal 01 Januari 2025 kemarin, kenaikan PPN 12% mulai diberlakukan. Kebijakan baru ini, kini menjadi bahan kritis ditengah masyarakat. bagaimana tidak, kenaikan tarif PPN sebesar 12% berdasarkan pernyataan para pemangku kebijakan hanya akan ditujukan kepada barang-barang terkategori mewah. Adapun pengenaan PPN atas sejumlah barang dan jasa diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang skema PPN di tahun 2025, yaitu tarif efektif 12% untuk barang-barang mewah dan tarif efektif 11% untuk barang-barang non-mewah. Sayangnya, bunyi kebijakan ini begitu kontradiktif dengan fakta di lapangan. Mengutip dari Kompas.id (3/1/2025), meski semestinya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai hanya berlaku untuk barang mewah, sejumlah barang dan jasa tetap ikut terdampak tarif PPN 12%. Kenaikan pungutan pajak itu terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang sehari-hari cukup sering diakses masyarakat, Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan dan lain sebagainya. Kenyataan ini membuat masyarakat bingung akan regulasi yang baru diterapkan, sebab tidak sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang.

Ketidakjelasan Implementasi Awal

https://wa.wizard.id/003a1b

Kontradiksi antara kebijakan diatas kertas dengan kenyataan implementasi, menjadikan masyarakat simpang siur akan informasi kredibel akan aturan baru ini. Terjadi ketidakjelasan dalam impelementasi. Padahal, pada dasarnya seharusnya ketika sebuah kebijakan dibuat, pelaksanaan di awal menjadi sesuatu yang begitu krusial untuk dilakukan. Mengapa? Karena tidak semua masyarakat terkhusus para pelaku usaha yang memahami dengan pasti definisi barang mewah dan barang apa saja yang termasuk dalam kategori mewah. Akibatnya respon yang diberikan oleh para pelaku usaha cenderung mengambil langkah aman dengan menaikkan harga semua barang baik itu termasuk barang kategori mewah atau tidak, daripada mereka harus menanggung resiko kerugian akibat salah menerapkan pajak. Pemerintah sendiri dalam mendukung implementasi kebijakan justru terlambat dalam memberikan petunjuk teknis, sehingga timbul kebingungan di tingkat pengecer, distributor bahkan konsumen barang dan jasa. Semuanya terjadi akibat ketidakjelasan di awal akan barang-barang yang akan terkena PPN 12%.

Di sisi lain, kenaikan PPN 12% tidak hanya memengaruhi barang yang langsung terkena pajak, tetapi juga menciptakan efek domino melalui rantai produksi dan distribusi. Apabila bahan baku yang digunakan dalam sebuah produksi dikenakan PPN 12%, maka biaya bahan baku naik, misalnya barang mewah dalam bentuk mesin canggih yang digunakan untuk produksi dikenakan pajak, tentu biayanya akan naik seperti mesin modern untuk industri. Kemudian, jasa transportasi yang digunakan untuk mengangkat bahan baku atau barang juga akan terpengaruh. Tentu dalam menanggapi peningkatan biaya produksi dan distribusi yang naik, maka pihak produsen dan pengecer harus menyesuaikan harga jual untuk menghindari kerugian. Alhasil, dampak yang diberikan hanya dua yakni harga barang akan naik dan jasa menjadi lebih mahal, sekalipun barang dan jasa yang dihasilkan tidak terkategori barang mewah. Barang dan jasa kebutuhan masyarakat juga akan terkena dampak. Jika pupuk dan traktor dikenai PPN, maka harga beras dan sayur juga buah akan naik. selain itu, sekolah yang menggunakan teknologi atau perangkat mahal untuk pembelajaran kemungkinan akan menaikkan biaya pendidikan.

Upaya Cuci Tangan

Menanggapi rekasi negatif yang diakibatkan penerapan kebijakan kenaikan PPN 12%, pemerintah berupaya menarik aspirasi positif masyarakat kembali dengan starategi yang diharapkan mampu mengurangi tekanan dan menghindari tanggung jawab langsung atas dampak kebijakan yang telah di sahkan tersebut. Pemerintah gencar mempromosikan beragam program bantuan kepada masyarakat seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), subsidi dan jaminan sosial lainnya semata untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari dampak buruk yang ditimbulkan sebelumnya. Alih-alih membahas kenaikan harga barang akibat PPN, pemerintah lebih menonjolkan bantuan untuk meringankan beban rakyat. Ditambah dengan adanya sinergi antara pemerintah dengan media partisan juga para akademisi atau tokoh masyarakat yang seringkali mendukung kebijakan yang ada dengan menyampaikan pesan-pesan tertentu dalam rangka memperkuat persepsi publik bahwa kebijakan yang dikelurkan tidak lain demi stabilitas ekonomi. seringkali menggunakan situasi krisis, seperti defisit anggaran atau kebutuhan dana untuk pemulihan ekonomi, sebagai alasan utama untuk menaikkan pajak. Narasi ini membuat rakyat merasa kebijakan tersebut tidak dapat dihindari. Mengklaim bahwa kenaikan PPN untuk mendukung program pendidikan gratis, kesehatan gratis dan program-program lainnya. Padahal harga sembako naik, biaya transportasi meningkat, dan daya beli masyarakat menurun. Sementara program bantuan yang dijanjikan hanya mencakup sebagian kecil masyarakat atau bahkan tidak cukup untuk meringankan beban mereka.

Narasi Populis untuk Memaksakan Kebijakan

Pemerintah memberlakukan kebijakan dengan menyususn narasi yang tampak mendukung kepentingan rakyat, akan tetapi pada kenyataannya justru mengabaikan kesulitan mereka. Kebijakan ini semakin mempertegas karakter penguasa yang bersifat populis otoriter. Narasi populis dijadikan sebagai strategi efektif yang berfokus pada pencitraan bahwa pemerintah berpihak kepada rakyat kecil dengan mengklaim segala bentuk macam bantuan yang diberikan kepada masyarakat, meskipun kebijakan yang diambil sebenarnya merugikan mereka. Hal ini lumrah saja terjadi di keadaan dimana pemimpin yang berkuasa di dominasi oleh para populis otoriter, yakni perpaduan antara gaya kepemimpinan populis yang bertujuan untuk meraih simpati rakyat melalui retorika-retorika pro-rakyat dengan pendekatan otoriter, yang cenderung mengonsolidasikan kekuasaan dan menekan kritik. Pemimpin dengan profil populis otoriter memiliki karakteristik seringkali mengemas masalah-masalah kompleks ke dalam narasi sederhana yang mudah diterima masyarakat sekalipun hal tersebut akan mengelabui masyarakat terkait bahaya yang mengancam kedepannya. Seperti, Ekonomi sulit? Solusinya adalah dengan menaikkan pajak demi kemakmuran bersama. Sentralisasi kekuasaan juga melekat dengan kepemimpinan populis otoriter, dimana semua kebijakan telah dirancang khusus dalam rangka memperkuat kontrol terhadap lembaga-lembaga negara, media dan masyarakat sipil untuk sepenuhnya mendukung pemerintah. Kritik terhadap pemerintah sering dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai dasar dalam melakukan perubahan apalagi menganggap hal itu bagian dalam demokrasi. Pengkritik bisa dikenakan sanksi hukum, diberi stigma negatif atau diabaikan.

Apabila tren kepemimpinan populis otoriter terus berlanjut, maka dampak yang dihasilkan tidakklah sepele. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan akan senantiasa memberatkan, sebab kebijakan yang didesain untuk kepentingan jangka pendek atau semata untuk mempertahankan kekuasaan seringkali mengabaikan dampak jangka panjang terhadap stabilitas ekonomi. Misalnya, kenaikan pajak tanpa ada mitigasi terhadap daya beli masyarakat. Kebiasaan menerima bantuan pemerintah menjadikan masyarakat ketergantungan, tetapi pemerintah tidak ada upaya untuk menciptakan solusi jangka panjang seperti peningkatan lapangan pekerjaan atau pengembangan industri. Sekalipun ada, mirisnya seringkali menyedot tenaga kerja asing dibandingkan masyarakat pribumi. Di sisi lain, kepemimpinan semacam ini akan menjadikan lembaga-lembaga yang seharusnya independen seperti pengadilan atau parlemen menjadi alat pemerintah, yang berjalan sesuai kepentingan golongan elite bukan masyarakat umum. Pun kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi sering dibatasi dengan alasan menjaga stabilitas dan keamanan nasional.

Kesimpulannya, penguasa populis otoriter menarik dukungan masyarakat melalui retorika dan pencitraan diri sebagai penyelamat, tetapi seringkali menggunakan kebijakan otoriter dalam mengonsolidasikan kekuasaan. Akibatnya, kebijakan yang diambil cenderung mengabaikan prinsip demokrasi dan kesejahteraan jangka panjang masyarakat.

Islam Sistem Hidup Komprehensif

Islam sebagai sistem hidup komprehensif mewajibkan penguasa sebagai raa’in yang mengurus rakyat sesuai dengan aturan Islam, dan tidak menimbulkan antipati pada rakyat dan tidak membuat rakyat menderita. Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan aturan Islam saja. Allah mengancam penguasa yang melanggar aturan Allah. Islam menawarkan pendekatan berbasis syariat yang berorientasi pada kesejahteraan umat. Pemimpin dalam Islam sebagai pelayan rakyat yang bertanggung jawab penuh kepada masyarakat dan Allah atas setiap kebijakan yang diambil dan diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Profil pemimpin dalam Islam adalah pemimpin yang bertakwa, kuat dan mencintai rakyatnya. Berbanding terbalik dengan bagaimana profil kepemimpinan populis otoriter hari ini. Pemimpin seharusnya bukanlah penguasa yang berorientasi pada kekuasaan, tetapi pelindung yang menjaga kesejahteraan rakyat dalam berbagi aspek termasuk aspek ekonomi. Islam melarang keras pemimpin yang seringkali menggunakan retorika populis dalam kepemimpinannya untuk menipu masyarakat atau mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah utama. Sebab, kejujuran dalam komunikasi adalah kewajiban. Setiap kebijakan yang diambil harus disampaikan secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, artinya transparan. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak simpang siur atau bingung terkait kebijakan yang akan diberlakukan.

Pengenaan pajak secara tidak adil pada masyarakat terlebih masyarakat miskin dalam Islam sangat dilarang. Islam sendiri menjadikan pajak sebagai opsi terakhir sumber pemasukan hanya apabila kas negara mengalami kekosongan, hal ini pun hanya diperuntukkan kepada orang-orang mampu dan cenderung tidak memaksa apalagi mendiskriminasi masyarakat agar membayar dalam jumlah tertentu. Terlebih jika pajak tersebut dirasa sudah memberatkan masyarakat. Ghanimah, fa’I, kharaj, jizyah serta pengelolaan aset publik menjadi opsi pilihan yang ditempuh sebelum mengambil pajak sebagai alternatif mendesak. Oleh karena itu, dalam Islam pajak tidak bersifat permanen layaknya hari ini yang ditetapkan sebagai sebuah kebijakan permanen. Tidaklah mengherankan, kepemimpinan populis otoriter menjadikan hutang dan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Pada akhirnya rakyat yang menjadi korban, sudahlah tidak terjamin dalam berbagai aspek kehidupan, harus membayar hutang negara dan pajak pula. Sudah bayar, dikorupsi pula. Islam menentang konsentrasi kekayaan pada segelintir orang atau kelompok. Islam mendorong juga mewadahi masyarakat untuk mengoreksi pemimpin yang menyimpang melalui amar ma’ruf nahi munkar, tidak seperti gaya kepemimpinan hari ini yang menutup rapat pintu kritik. Pemimpin dalam Islam hidup secara sederhana, tidak bermewah-mewah dan senantiasa menjadi teladan bagi rakyatnya. Contohnya, Umar bin Khattab yang hidup sederhana meskipun menjabat sebagai seorang khalifah, bahkan rela kelaparan bersama rakyatnya saat terjadi krisis.

Adapun pengelolaan sumber daya alam dalam Islam adalah milik publik dan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elit atau swasta. Segala bentuk pelayanan baik pendidikan maupun kesehatan gratis yang dijamin dari sumber-sumber pemasukan pengelolaan sumber daya alam dan aset publik lainnya. Implementasi solusi-solusi Islam ini tidak hanya menyelesaikan masalah ekonomi dan sosial, tetapi juga membangun masyarakat yang harmonis dan sejahtera.

(Penulis: Syifa Nusaibah)

 

Share:   

FOLLOW US ON FACEBOOK
FOLLOW US ON INSTAGRAM
FOLLOW US ON TIKTOK
@dailypost.id
ekakraf multimedia