Opini– Angin kencang kebijakan pajak kembali berembus. Mulai 2025, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) direncanakan naik menjadi 12%. Pemerintah mengklaim, ini adalah jalan untuk memperkuat penerimaan negara. Tapi, benarkah jalan itu tidak menyesakkan napas rakyat kecil? Di balik segala janji perlindungan, adakah yang benar-benar berubah, ataukah sekadar basa-basi?
Menteri Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pekerja, khususnya mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak akan terabaikan. Program insentif pajak, diskon iuran BPJS Ketenagakerjaan, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menjadi senjata utama untuk meredam guncangan (Merdeka.com, 2024). Di sisi lain, pemerintah juga tengah mematangkan skema bantuan sosial untuk kelas menengah agar tidak terjerumus dalam lingkaran kemiskinan yang semakin ketat (Katadata.co.id, 2024).
Bahkan, pelanggan listrik rumah tangga dengan daya 450 VA hingga 2.200 VA akan menerima diskon tagihan hingga 50% selama Januari-Februari 2025, sementara 99,5% pelanggan PLN dibebaskan dari PPN tarif listrik. Kebijakan ini terlihat manis di atas kertas, namun cukupkah itu untuk membendung beban yang kian mendesak? (Viva.co.id, 2024; CNBCIndonesia.com, 2024).
Tambal Sulam Temporal
Mungkin bisa dianalogikan bahwa desas desus bansos dan subsidi ini sebagai lapisan gula di atas pil pahit PPN yang terus membumbung tinggi, mengapa, ? Jika dicermati, semua ini hanyalah langkah tambal sulam dalam sistem kapitalis yang sejak awal memang cacat.
Bantuan pemerintah—baik dalam bentuk bansos maupun diskon biaya listrik—yang digembar-gemborkan sebagai kompensasi atas kenaikan PPN sejatinya hanya sekadar solusi sementara yang tidak akan meringankan beban rakyat secara substansial. Kebijakan ini tampak memberi angin segar di tengah lonjakan harga, tetapi kenyataannya hanya menutupi gejala tanpa mengatasi akar masalah. Kebijakan populis ini, meskipun diklaim berpihak pada rakyat, memperlihatkan wajah otoritarianisme ekonomi yang semakin menguat. Negara tidak berupaya memperbaiki struktur sosial-ekonomi yang timpang, melainkan terus menggantungkan nasib rakyat pada kebijakan tambal sulam yang cenderung bersifat sementara dan mudah dilupakan.
Subsidi dan bansos ini hanyalah retorika kosong yang menjadi palliative, sebuah penanggulangan sementara tanpa mencabut akar permasalahan ketimpangan ekonomi. Meskipun dikemas dengan manis, kebijakan tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa kenaikan PPN adalah bagian dari sistem yang memperparah kesenjangan ekonomi. Dalam sistem kapitalis, segelintir elit ekonomi terus meraup keuntungan, sementara rakyat kecil hanya diberikan solusi temporer yang tidak mengakhiri penderitaan mereka.
Negara, meskipun mengklaim peduli, lebih memilih menciptakan ketergantungan rakyat pada bantuan yang terbatas dan tidak berkelanjutan daripada mengatasi ketimpangan yang ada. Dengan cara ini, pemerintah bisa terlihat responsif dan peduli, namun sesungguhnya mereka hanya memperburuk siklus ketidakadilan sosial yang terus berulang.
Konsekuensi dalam Dunia Kapitalisme
Kenaikan PPN adalah wajah lain dari kapitalisme yang semakin nyata, sebuah sistem yang mengandalkan pajak sebagai mesin pendapatan negara, seolah itu satu-satunya cara untuk membiayai pembangunan. Namun, ada ironi yang tak terhindarkan. Pembangunan yang dimaksud tak pernah benar-benar dirasakan oleh rakyat yang telah dijadikan mesin pembayar pajak itu sendiri. Alih-alih merasakan dampak positifnya, mereka justru terhimpit oleh lonjakan harga yang tak terelakkan. Di tengah gegap gempita pembangunan yang dijanjikan, rakyat tetap terabaikan. Infrastruktur megah, gedung pencakar langit, dan jalan-jalan baru memang bisa terlihat mencolok, namun tidak ada yang dapat menjelaskan bagaimana semua itu bisa meringankan penderitaan mereka yang terus berjuang untuk bertahan hidup di bawah bayang-bayang ketimpangan.
Bahkan, semakin tinggi pajak yang dipungut, semakin besar jarak antara janji dan kenyataan. Subsidi dan bansos yang diberikan pemerintah seolah hanya berupa pelepasan tanggung jawab sesaat, bukan solusi jangka panjang. Mereka yang berada di puncak hierarki ekonomi tetap menikmati hasil dari pembangunan itu, sementara yang di bawah terus digilas oleh kebijakan yang hanya memperpanjang siklus ketidakadilan. Di balik jargon pembangunan, yang sesungguhnya terjadi adalah pemerkosaan atas hak-hak rakyat kecil, yang seharusnya menjadi subjek dalam setiap kebijakan, bukan objek yang terus dikorbankan demi kepentingan segelintir elit.
Jadi, pada akhirnya kita harus bertanya: apakah yang kita sebut pembangunan ini benar-benar untuk rakyat, ataukah hanya upaya menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sudah lebih dari cukup, sementara mereka yang kekurangan tetap berada di luar jangkauan?
Pajak dalam Negara Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan utama negara. Pajak hanya diberlakukan dalam kondisi sangat terbatas—ketika kas negara kosong dan ada kebutuhan mendesak untuk membiayai pembangunan yang memang wajib dilaksanakan. Bahkan, pajak ini hanya dikenakan kepada mereka yang mampu, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Tawbah: 103)
Zakat, yang merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu, adalah sumber pendapatan yang jauh lebih utama dalam Islam. Selain itu, pajak dalam Islam harus memenuhi prinsip keadilan dan tidak membebani rakyat kecil yang sudah terhimpit kesulitan.
Islam mewajibkan penguasa untuk berbuat baik dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Penguasa, dalam pandangan Islam, bukanlah sekadar pemimpin, tetapi juga seorang “raa’in”—pemelihara dan penjaga rakyatnya. Hadis Rasulullah SAW menegaskan hal ini:
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi Muhammad SAW menggunakan istilah raa’in (رَاعٍ), yang secara literal berarti “penggembala”. Konsep penggembala dalam bahasa Arab mengandung makna yang mendalam, lebih dari sekadar analogi, tetapi sebagai prinsip kepemimpinan itu sendiri.
Pemimpin yang disebut raa’in tidak hanya memiliki kuasa, tetapi juga tanggung jawab yang besar terhadap apa yang dipimpinnya. Dalam konteks ini, ra’iyyat (رَعِيَّةٌ), yang berarti “yang dipimpin” atau “rakyat”, merujuk kepada objek yang harus dijaga dan dibimbing dengan penuh perhatian dan tanggung jawab. Konsep ini menggarisbawahi pentingnya pemimpin untuk bersikap peka terhadap kebutuhan dan kondisi mereka yang dipimpin, sebagaimana seorang penggembala yang harus peka terhadap kebutuhan ternaknya. Gembalaan yang tidak mengungkapkan apa yang mereka alami mengajarkan pemimpin untuk memiliki intuisi dalam menjaga dan mengatur apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Dengan kata lain, pemimpin dalam Islam harus memiliki kepekaan dan kebijaksanaan untuk memastikan kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan yang dipimpinnya, serta bertanggung jawab penuh terhadap apa yang mereka pimpin. Pemimpin yang baik bukan hanya yang memiliki kekuasaan, tetapi yang mampu menjaga dan memberikan perlindungan, baik secara fisik maupun moral, terhadap rakyatnya.
Penguasa harus memastikan bahwa kebutuhan pokok rakyat—seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan—terpenuhi dengan baik. Profil penguasa dalam Islam yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat menjadi kunci dalam lahirnya kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar mengejar keuntungan negara atau kepentingan segelintir elit.
Islam, dengan sistem keuangannya yang adil, memiliki berbagai sumber pendapatan yang bisa digunakan untuk membiayai pembangunan dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Selain zakat, ada pula sumber daya lain seperti kharaj (pajak atas tanah) dan jizyah (pajak atas non-Muslim yang mampu).
Dengan sumber pendapatan yang beragam dan berkeadilan, Islam mampu menciptakan kesejahteraan bagi setiap individu, bukan hanya kelompok tertentu. Negara Islam, dengan sistem keuangan yang bersumber dari zakat, kharaj, dan jizyah, dapat mengelola kekayaan dengan cara yang lebih adil dan berkelanjutan, jauh dari ketimpangan sosial yang sering kita temui dalam sistem kapitalis. Sehingga, setiap individu bisa merasakan manfaat dari pembangunan yang dilakukan oleh negara.
(Penulis: Sandyakala)