Gorontalo – Hamim Modjo, pemilik lahan seluas 7,2 hektar di Desa Hutabohu, Kabupaten Gorontalo, kembali mempertanyakan realisasi pelunasan atas lahannya yang telah dibebaskan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo sejak tahun 2012.
“Sudah 13 tahun saya menunggu pembayaran sisa pembebasan lahan ini, tapi belum ada jawaban pasti dari Pemprov Gorontalo,” ujar Hamim Modjo saat ditemui belum lama ini.
Menurutnya, pembebasan tanah ini awalnya disepakati untuk kepentingan pembangunan infrastruktur yang mendukung sumber daya manusia dan alam di Gorontalo.
Hamim menjelaskan bahwa dirinya telah menerima panjar tiga kali dengan total Rp841 juta. Namun, sisa pembayaran yang sebelumnya disepakati antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per meter belum direalisasikan.
“Tanah saya diambil dengan alasan untuk kepentingan umum, tapi sampai saat ini belum ada penyelesaian,” tambah Hamim.
Dalam usahanya untuk mendapatkan keadilan, Hamim Modjo didampingi oleh organisasi masyarakat (ormas) Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Provinsi Gorontalo. Ketua LAKI, Abdul Karim Nasa, meminta agar Pemprov Gorontalo segera memprioritaskan pelunasan pembayaran ini dalam anggaran tahun 2024. Menurutnya, persoalan ini sudah terlalu lama dibiarkan dan bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintah daerah.
“Sudah 13 tahun Hamim menunggu, dan ini sangat merugikan pemilik lahan. Kami mendesak Pemprov Gorontalo agar segera menyelesaikan pembayaran ini sebelum masalah ini semakin rumit,” ujar Abdul Karim. Ia menambahkan, jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah, pihaknya akan menggugat kasus ini ke pengadilan dan melibatkan Satgas Mafia Tanah.
Selain itu, pihak Hamim dan LAKI juga telah mencoba menyurati Pj Gubernur Gorontalo sebanyak 2 kali, namun belum ada tanggapan. Abdul Karim menyebut bahwa pihaknya juga akan mendesak DPRD Provinsi Gorontalo untuk segera mengadakan hearing guna membahas penyelesaian masalah ini.
“Jika tidak ada tindakan nyata, ini bisa mencoreng reputasi pemerintah daerah. Sebagai warga negara yang taat hukum, Hamim berhak mendapatkan keadilan atas hak tanahnya,” lanjut Abdul Karim.
Ke depan, Hamim dan ormas LAKI berencana untuk terus mendorong penyelesaian kasus ini melalui berbagai jalur, termasuk hukum. Mereka berharap masalah ini segera diselesaikan tanpa harus melalui proses hukum yang panjang, mengingat ini adalah masalah yang sudah berlarut-larut selama lebih dari satu dekade.
Apabila hearing dengan DPRD tidak membuahkan hasil, Hamim dan ormas LAKI telah menyiapkan langkah hukum dengan melaporkan kasus ini ke Satgas Mafia Tanah dan melayangkan gugatan ke pengadilan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Kami siap membawa kasus ini ke ranah hukum jika tidak ada penyelesaian dari Pemprov Gorontalo,” tegas Abdul Karim.
Terkait dengan tuntutan Hamim Modjo atas pelunasan sisa pembayaran lahan seluas 7,2 hektar di Desa Hutabohu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo memberikan penjelasan mengenai kendala yang terjadi. Kepala Badan Keuangan Provinsi Gorontalo, Sukrin Gobel, mengungkapkan bahwa kasus ini melibatkan proses administrasi yang rumit dan membutuhkan waktu.
Sukrin menjelaskan bahwa pembebasan lahan tersebut terjadi pada 2012 dan ditangani oleh Biro Pemerintahan saat itu. Ia sendiri baru mengetahui bahwa panjar sebesar Rp841 juta telah dibayarkan kepada pemilik lahan setelah Hamim Modjo mengajukan pertanyaan kepada Wakil Gubernur saat itu, Idris Rahim.
“Dalam temuan BPK, tanah tersebut masih dikelola oleh pemiliknya meskipun sudah dibayar sebagian. Ini menjadi salah satu kendala yang harus diselesaikan,” jelas Sukrin.
Menurutnya, lahan tersebut sudah tercatat sebagai aset Pemda, namun jika ada pelunasan lebih lanjut, harus ada prosedur yang jelas, termasuk penetapan harga lahan apakah berdasarkan nilai lama atau nilai saat ini.
Sukrin menambahkan bahwa pembayaran sisa lahan harus melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang bertanggung jawab, yang kemudian akan mengusulkan proses pelunasan.
“Tanah ini sudah tercatat sebagai aset Pemda dengan luas 7,2 hektar. Jika ada pelunasan, kita perlu memastikan bahwa aset ini tidak dicatat dua kali,” lanjutnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang harga yang akan digunakan untuk pelunasan. “Jika pemilik lahan meminta pelunasan, berapa harga yang harus dibayar? Apakah menggunakan harga saat lahan dibebaskan, atau harga saat ini? Ini harus dikonfirmasi terlebih dahulu,” ujar Sukrin.
Sementara itu, staf aset Badan Keuangan Provinsi Gorontalo, Iwan Lakoro, menambahkan bahwa sejak pembebasan lahan dilakukan pada 2012, terjadi beberapa perubahan OPD yang bertanggung jawab terhadap pengadaan lahan.
“Awalnya, pengadaan lahan ditangani oleh Biro Pemerintahan, lalu beralih ke Dinas Pekerjaan Umum setelah tahun 2017,” jelas Iwan.
Ia juga mengakui adanya kemungkinan miskomunikasi antara pemerintah dan pemilik lahan terkait nilai kesepakatan awal.
“Kami di bagian aset tidak mengetahui kesepakatan awal yang dibuat dengan pemilik lahan. Namun, yang jelas, lahan tersebut sudah tercatat di aset pemerintah,” tambahnya.
Saat ini, pihak media masih berupaya mendapatkan informasi lebih lengkap dari Dinas PUPR Provinsi Gorontalo.
(d08)