DEFORESTASI MAKIN MASIF, INDONESIA MENANGIS

Dailypost.id
DEFORESTASI MAKIN MASIF/AI-Ilustrasi
Oleh: Syifa Nusaibah

DAILYPOST.ID Opini — Deforestasi masif terjadi di Indonesia. Deforestasi sendiri didefinisikan sebagai perubahan secara permanen dari area berhutan menjadi tidak berhutan. Menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2022, Indonesia memiliki hutan seluas 92 juta hektare, menjadikannya negara dengan wilayah hutan terbesar kedelapan di dunia. Dengan luas hutan ini, Indonesia berperan penting dalam menyerap emisi karbon dan berkontribusi terhadap penyelesaian masalah iklim global.

Namun, peran tersebut tidak dapat dipertahankan karena hutan Indonesia terus berkurang. Berdasarkan laporan Databoks Katadata pada 19 Januari 2024, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara yang kehilangan hutan primer tropis paling banyak dalam dua dekade terakhir. Hutan primer tropis ini memiliki peran vital karena menyimpan cadangan karbon yang besar dan memiliki keanekaragaman hayati yang kaya.

https://wa.wizard.id/003a1b

Dalam dokumen Enchanced Nationally Determined Contribution (ENDC) September 2022, dalam skenario kondisi normal (business as usual), dalam periode 2021–2030 Indonesia diproyeksikan mengalami deforestasi rata-rata 820 ribu hektare/tahun. Pemerintah menargetkan deforestasi 2021-2030 akan turun sekitar 56% menjadi rata-rata 359 ribu hektare/tahun. (Katadata, 29-12-2023).

Salah satu wilayah yang banyak mengalami deforestasi paling banyak dan parah adalah Gorontalo. FWI mencatat bahwa Provinsi Gorontalo mengalami deforestasi (2017-2021) sebesar 33.492 hektare. Sementara itu, masih terdapat 696.631 hektare hutan alam tersisa di Gorontalo yang perlu dijaga. Ancaman deforestasi terus mengintai hutan alam Gorontalo. Berdasarkan temuan Forest Watch Indonesia (FWI), ada sekitar 1.105 hektare hutan alam di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo mengalami deforestasi periode 2021-2023.

Renal Husa, anggota Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) menjelaskan bahwa terjaidnya deforestasi hutan alam di Gorontalo paling parah di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo Utara dan Bone Bolango.
Masifnya deforestasi yang dilakukan di Indonesia terkhusus di Gorontalo, tidak lain untuk dijadikan sebagai ladang produksi negara sehingga menghasilkan komoditas yang dapat diperjual belikan dalam rangka memperoleh keuntungan.

Komoditas-komoditas yang diperjualbelikan tersebut berasal dari sumber daya yang ada dalam hutan-hutan yang digundulkan secara besar-besaran terutama hasil kayu. Salah satu produk yang dihasilkan adalah wood pellet yang sekaligus menjadi komoditas yang paling banyak dicari hari ini oleh negara-negara tetangga. Wood pellet sangat diperlukan sebagai penghasil energi terbarukan pengganti energi fosil juga berperan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Wood pellet adalah komoditas yang berasal dari serbuk kayu yang dipadatkan dan digunakan untuk kebutuhan bioenergi. Produk ini diekspor ke luar negeri, terutama ke dua negara, yaitu Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut memanfaatkan wood pellet dari Indonesia sebagai bahan bakar di pembangkit listrik, menggantikan batu bara. Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan hutan terbanyak dan luas tentu menjadi sasaran negara-negara lain, sehingga tidaklah mengherankan negara-negara tersebut rela membayar dengan harga yang mahal untuk produk yang satu ini.

Permintaan ekspor wood pellet semakin meningkat. Produsen wood pellet PT Biomasa Jaya Abadi (PT BJA) menjadi penghasil devisa ekspor terbesar di Gorontalo. Kontribusi perseroan mencapai lebih dari 55% dari total devisa ekspor Provinsi tersebut. Rudi Hartanto, Presiden Direktur PT BJA menyatakan, sejak beroperasi di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, perseroan telah melakukan pengiriman wood pellet ke dua negara yaitu Jepang dan Korea Selatan. Sejak beroperasi yaitu tahun 2022 hingga 14 Agustus 2024, PT BJA telah melakukan 21 kali ekspor wood pellet sebanyak 230.000 ton (Kompas.com 28/8/2024).

Akibat deforestasi yang masif, berbagai bencana dan kesulitan hidup menimpa masyarakat. Mereka kehilangan ruang untuk hidup dan menjadi korban bencana alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan, tanah longsor, peningkatan suhu global, hilangnya sumber air, serta punahnya ekosistem. Sementara para kapitalis (pemilik modal) meraup keuntungan dari perusakan hutan, rakyat menderita dalam kesengsaraan.

Buah Penerapan Sistem Kufur

Masifnya deforestasi yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah hasil dari penerapan sistem sekuler kapitalisme yang menempatkan kepentingan ekonomi di atas kelestarian lingkungan. Kapitalisme sebagai sebuah ideologi memisahkan antara pembangunan dan keberlanjutan alam, menekankan eksploitasi sumber daya alam untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, pembangunan dianggap sebagai motor kemajuan, dan eksploitasi sumber daya alam, termasuk hutan, dipandang sebagai hal yang lumrah untuk menopang perekonomian. Namun, sistem ini gagal mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat, serta tidak sejalan dengan ajaran agama yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam.

Dalam sistem kapitalisme, pemilik modal atau kapitalis memiliki peran sentral dalam menentukan arah kebijakan pembangunan. Pemerintah, dalam upaya menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sering kali memberikan keleluasaan kepada perusahaan besar untuk mengeksploitasi hutan tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya. Penebangan hutan, konversi lahan untuk perkebunan, dan kegiatan industri lainnya sering kali dilakukan dengan mengorbankan keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem. Tujuan utamanya adalah memaksimalkan keuntungan dalam waktu singkat, meskipun mengabaikan kerugian jangka panjang seperti kerusakan alam yang tidak dapat diperbaiki.

Sistem kapitalisme tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk memadukan pembangunan dengan prinsip kelestarian lingkungan. Agama, khususnya Islam, mengajarkan pentingnya menjaga alam sebagai amanah yang harus dirawat dan dipelihara. Ajaran ini menekankan bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak alam, melainkan hanya penjaga yang harus bertanggung jawab atas penggunaannya. Namun, dalam sistem sekuler kapitalisme, nilai-nilai ini diabaikan. Kapitalisme sekuler tidak melihat pentingnya menyelaraskan pembangunan dengan ajaran agama atau prinsip moral lainnya, sehingga mendorong perilaku eksploitatif terhadap alam.

Akibat dari sistem ini, kerusakan lingkungan, terutama deforestasi, menjadi tak terelakkan. Penebangan hutan secara besar-besaran tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga mengakibatkan berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan hilangnya sumber air. Deforestasi juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, dengan meningkatnya emisi karbon dari pembakaran hutan dan hilangnya kemampuan hutan untuk menyerap karbon dioksida. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh alam, tetapi juga oleh masyarakat yang hidup bergantung pada keberadaan hutan, termasuk suku-suku asli dan komunitas lokal yang mata pencahariannya bergantung pada kelestarian lingkungan.

Lebih parah lagi, dalam kapitalisme, deforestasi sering kali dipromosikan sebagai langkah maju untuk pembangunan ekonomi. Kebijakan yang mendukung perusakan hutan biasanya dilandasi argumen bahwa pembukaan lahan akan membawa lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan negara melalui ekspor hasil bumi seperti kayu, kelapa sawit, atau mineral. Namun, manfaat ekonomi ini hanya dirasakan oleh segelintir elit dan perusahaan besar, sementara masyarakat lokal dan lingkungan menanggung beban kerusakan yang diakibatkannya.

Secara keseluruhan, deforestasi yang masif adalah salah satu contoh nyata bagaimana kapitalisme sekuler mengabaikan keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan. Sistem ini memisahkan aspek ekonomi dari tanggung jawab moral dan agama, seolah-olah pembangunan hanya dapat dicapai dengan mengorbankan alam. Dalam jangka panjang, pendekatan seperti ini justru membawa bencana, baik bagi lingkungan maupun manusia yang bergantung pada keberlangsungan alam. Oleh karena itu, perlu ada revisi fundamental terhadap pendekatan pembangunan yang lebih memperhatikan keberlanjutan ekologi dan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh agama, sehingga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan dapat tercapai.

Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, alam semesta dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah yang harus dijaga dan dipelihara dengan penuh tanggung jawab. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah (pemimpin) di bumi yang diberi amanah untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan alam, termasuk hutan. Prinsip-prinsip ini menawarkan pendekatan yang holistik dalam menyelesaikan masalah deforestasi, dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan. Islam tidak hanya mengakui hak manusia atas sumber daya alam, tetapi juga menekankan kewajiban manusia untuk menjaga dan melestarikan alam untuk generasi mendatang.

Salah satu konsep kunci dalam Islam yang relevan dengan masalah deforestasi adalahkeseimbangan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah menciptakan alam dengan keseimbangan yang sempurna, dan manusia diberi tugas untuk menjaga keseimbangan tersebut. Deforestasi yang masif jelas melanggar prinsip ini karena mengganggu ekosistem, menghilangkan keragaman hayati, dan menyebabkan bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. Dalam ajaran Islam, merusak keseimbangan alam merupakan bentuk kezaliman, baik terhadap alam maupun terhadap sesama makhluk yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu, salah satu solusi Islam untuk mengatasi deforestasi adalah dengan memulihkan keseimbangan ekosistem melalui penghentian penebangan hutan secara sembarangan dan melakukan reboisasi.

Islam juga mengajarkan konsep amanah, yaitu tanggung jawab manusia atas semua sumber daya alam yang dipercayakan kepada mereka. Manusia tidak memiliki alam secara mutlak, tetapi hanya sebagai penjaga yang bertanggung jawab atas pemanfaatannya secara bijak. Dalam konteks deforestasi, amanah ini berarti bahwa manusia tidak boleh mengeksploitasi hutan secara berlebihan demi keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Contoh nyata penerapan amanah ini bisa dilihat dalam berbagai kebijakan yang mendorong penanaman pohon kembali setelah penebangan hutan, atau dalam praktik-praktik pertanian berkelanjutan yang tidak merusak hutan.

Dalam pandangan Islam, pemerintah memiliki tanggung jawab besar sebagai pemimpin yang harus bertindak adil dan bertanggung jawab atas amanah yang diembannya, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Pemimpin dalam Islam adalah khalifah yang tidak hanya memimpin manusia, tetapi juga menjaga kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem. Ketika pemerintah hari ini dengan seenaknya menjual sumber daya alam, termasuk hutan, dan mengizinkan penebangan liar serta konversi lahan menjadi mega proyek atau perkebunan kelapa sawit tanpa mempedulikan dampaknya, tindakan ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan tanggung jawab yang diajarkan dalam Islam.

Pertama, tindakan pemerintah yang mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan bertentangan dengan konsep amanah dalam Islam. Amanah adalah prinsip bahwa manusia, termasuk pemerintah, bertanggung jawab atas semua yang ada di bumi, karena semua ini adalah milik Allah SWT. Sumber daya alam seperti hutan bukanlah milik pemerintah atau sekelompok elit, melainkan titipan Allah yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik untuk kemaslahatan seluruh makhluk. Menjual hutan secara sembarangan atau mengalihfungsikan lahan untuk kepentingan bisnis yang merusak alam berarti melanggar amanah tersebut, dan dalam Islam, melanggar amanah adalah dosa besar.

Kedua, Islam mengajarkan prinsip maslahah atau kemaslahatan umum, di mana setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus berorientasi pada kebaikan dan kesejahteraan masyarakat luas. Ketika hutan digunduli untuk proyek komersial atau perkebunan, hal ini sering kali hanya menguntungkan segelintir pihak, terutama para pemilik modal dan perusahaan besar, sementara masyarakat lokal justru kehilangan sumber kehidupan mereka. Ekosistem rusak, bencana alam seperti banjir dan tanah longsor meningkat, serta keanekaragaman hayati terancam punah. Dalam pandangan Islam, kebijakan seperti ini tidak memenuhi prinsip maslahah karena lebih banyak membawa kerugian daripada manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Pemerintah yang mengabaikan kesejahteraan umum demi kepentingan komersial dapat dianggap berbuat zalim, dan kezaliman adalah sesuatu yang dilarang keras dalam Islam.

Ketiga, pemerintah dalam Islam harus bertindak adil dan tidak merugikan hak-hak rakyatnya. Ketika pemerintah memberikan izin kepada perusahaan untuk menggunduli hutan dan merusak lingkungan demi keuntungan ekonomi, ini sering kali mengakibatkan ketidakadilan sosial. Masyarakat adat, petani kecil, dan komunitas yang bergantung pada hutan sering kali menjadi korban kebijakan ini, kehilangan akses terhadap tanah, air, dan sumber daya alam yang mereka andalkan untuk bertahan hidup. Islam sangat menentang segala bentuk ketidakadilan, dan pemerintah yang adil seharusnya melindungi hak-hak masyarakat lemah, bukan sebaliknya, membiarkan mereka menderita demi keuntungan segelintir elit. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan para pemimpin untuk berlaku adil, seperti yang disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”

Keempat, Islam sangat menghargai kelestarian alam dan melarang perusakan bumi. Deforestasi besar-besaran dan konversi lahan hutan menjadi perkebunan atau proyek industri yang merusak jelas merupakan bentuk fasad, di mana lingkungan dirusak demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Islam memerintahkan manusia untuk menjaga bumi dan mencegah kerusakan yang bisa berdampak buruk bagi generasi sekarang dan mendatang. Pemerintah yang mengizinkan terjadinya deforestasi dan pengrusakan lingkungan ini bertindak bertentangan dengan perintah Allah untuk menjaga bumi.

Contoh yang sering terjadi adalah proyek-proyek perkebunan kelapa sawit yang secara besar-besaran menggunduli hutan tropis. Akibat dari kebijakan ini adalah hilangnya ekosistem yang mendukung keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi karbon, serta rusaknya kehidupan masyarakat adat yang selama ini tinggal di sekitar hutan. Dalam Islam, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, terutama jika menyebabkan kerusakan yang tak terpulihkan, merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. adalah larangan untuk merusak alam tanpa alasan yang jelas dan sah.
Pemerintah yang menerapkan kebijakan semata-mata demi pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosial melanggar konsep keadilan, amanah, dan perlindungan terhadap lingkungan yang diamanatkan dalam Islam. Islam menuntut adanya keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam, dan tugas pemerintah adalah menjamin bahwa pembangunan yang dilakukan tidak merugikan lingkungan serta masyarakat. Pemerintah juga harus mengambil peran aktif dalam melindungi hutan, memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, dan memastikan bahwa sumber daya alam dikelola secara berkelanjutan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Sebagai solusi, pemerintah harus menerapkan kebijakan yang lebih berkelanjutan, mendukung pertanian yang ramah lingkungan, serta memperkuat regulasi yang melarang penebangan liar dan perusakan hutan. Pemerintah juga harus melibatkan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, dalam pengelolaan sumber daya alam, memastikan bahwa mereka mendapat manfaat yang adil dari hasil bumi tanpa merusak lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk berperan sebagai pemimpin yang adil, menjaga amanah, dan mematuhi perintah Allah dalam memelihara kelestarian bumi.

Secara keseluruhan, Islam menawarkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan dalam menyelesaikan masalah deforestasi. Dengan menekankan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi, menjaga keseimbangan ekosistem, dan menerapkan kebijakan yang berorientasi pada kelestarian alam, Islam mengajarkan bahwa pembangunan tidak harus mengorbankan lingkungan. Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, deforestasi dapat ditekan, dan alam dapat dipulihkan untuk generasi mendatang.

Share:   

FOLLOW US ON FACEBOOK
FOLLOW US ON INSTAGRAM
FOLLOW US ON TIKTOK
@dailypost.id
ekakraf multimedia