Opini– Pada tanggal 4 Januari 2025, warga Palestina di Kota Gaza sedang menghadapi dampak dari serangan udara yang dilancarkan oleh militer Israel. Serangan tersebut terjadi sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 3 Januari, dan berlangsung selama 24 jam. Target serangan utama itu adalah anggota Hamas, menurut laporan otoritas kesehatan Palestina. Namun, serangan ini tidak hanya mengenai sasaran yang dituju, tetapi juga menyebabkan korban jiwa yang besar di kalangan warga Palestina, dengan lebih dari 110 orang tewas dalam rentang waktu dua hari. (Sumber : Kompas.com)
Pada Jumat (3/1), militer Israel memaksa evakuasi staf dan pasien dari dua rumah sakit di Gaza utara di bawah ancaman serangan. Beberapa hari sebelumnya, pasukan Israel menyerbu Rumah Sakit Kamal Adwan dan menahan direktur rumah sakit tersebut. Kebanyakan yang menjadi korban dianatra mereka adalah wanita dan anak-anak. Mereka semua warga sipil. Tidak ada seorang pun di sana yang terlibat dalam perlawanan. (Sumber : Kumparan News)
Dampak serangan Israel di Jalur Gaza sepanjang tahun 2024 tidak hanya terbatas pada jiwa korban, seperti orang-orang yang meninggal dunia atau terluka. Serangan tersebut juga berdampak pada kehancuran fisik, termasuk merusak hampir 1.000 masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah utama bagi umat Islam, juga sering menjadi pusat komunitas, pendidikan, dan kegiatan sosial. Dalam pernyataannya, Menteri Wakaf dan Urusan Agama mengatakan 815 tempat ibadah muslim telah sepenuhnya hancur dan 151 lainnya rusak sebagian. (Sumber : Kumparan News)
Kerusakan masjid tidak hanya menimbulkan kesulitan bagi warga dalam menjalankan ibadah, tetapi juga menggambarkan dampak serangan luas yang menghancurkan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Gaza. Hal ini menunjukkan bahwa serangan tersebut merusak lebih dari sekadar infrastruktur fisik; mereka juga melukai simbol-simbol penting spiritual dan identitas umat Islam.
Sebatas Kecaman, dimana kekuatan pemimpin Muslim?
Pada tanggal 11 November 2023, Arab Saudi bersama dengan negara-negara Muslim lainnya secara tegas mengumumkan izin segera melakukan tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza. Mereka mengecam tindakan Israel yang menyebabkan korban jiwa dan penderitaan yang masif.
Arab Saudi berupaya menekan Amerika Serikat dan Israel agar mengakhiri permusuhan di Gaza. Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, penguasa de facto kerajaan tersebut, mengumpulkan para pemimpin Arab dan Muslim untuk memperkuat pesan tersebut. Puluhan pemimpin termasuk Presiden Iran Ebrahim Raisi, Presiden Turki Tayyip Erdogan, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani dan Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang diterima kembali ke Liga Arab tahun ini turut hadir. (Sumber : Republika)
Presiden terpilih Prabowo Subianto mengecam Israel saat memberikan pidato dalam koordinasi nasional legislatif yang dihadiri DPP PKB di Jakarta, Kamis (10/10). kecaman Presiden terpilih Prabowo Subianto terhadap tindakan Israel yang dianggap memaksakan kehendaknya melalui agresi militer. Ia secara tegas mengkritik Israel atas tindakannya yang dinilai tidak adil dan merugikan rakyat sipil. (Sumber : Kumparan News)
Seiring berjalannya waktu, kecaman dari pemimpin negara-negara Muslim terhadap tindakan Israel menjadi hal yang rutin terdengar. Mereka sering kali menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap agresi militer, pembangunan pemukiman ilegal, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel di Palestina. Namun, pernyataan kecaman ini jarang diikuti oleh langkah-langkah konkret yang dapat memberikan dampak signifikan. Hal ini mengundang pertanyaan: apakah kecaman verbal cukup untuk menunjukkan solidaritas dan kekuatan, atau justru mencerminkan kelemahan posisi mereka di mata Israel?
Dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk melindungi umat Muslim dan menegakkan keadilan. Namun, ketidakmampuan untuk bertindak tegas menunjukkan bahwa nilai-nilai ini tidak sepenuhnya diwujudkan dalam praktik kepemimpinan mereka. Selain itu, kelemahan ini mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam dunia Muslim, yaitu ketidakmampuan untuk bersatu dan bertindak bersama dalam menghadapi tantangan bersama. Negara-negara Muslim sering kali terpecah oleh kepentingan nasional masing-masing.
Kelemahan dalam kepemimpinan negara-negara Muslim terhadap konflik Israel-Palestina menjadi cerminan dari ketidakmampuan mereka untuk bertindak tegas dan bersatu. Kecaman verbal, meskipun penting, tidak cukup untuk menghadapi tantangan yang ada. Jika para pemimpin Muslim ingin mengubah dinamika kekuasaan dan memperjuangkan hak-hak Palestina dengan efektif, mereka harus siap untuk mengambil tindakan yang lebih berani dan tegas, bahkan jika itu berarti menghadapi risiko yang signifikan.
Solusi hakiki, kembalikan perisai umat!
Palestina membutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar mampu mengerahkan pasukannya untuk mengusir penjajah. Pemimpin seperti ini tidak boleh tunduk atau patuh pada kekuatan asing, melainkan harus memiliki keberanian untuk melawan mereka. Hanya pemimpin yang memiliki mentalitas melindungi umat yang mampu mengambil sikap tegas dalam membela Palestina, terutama karena isu Palestina tidak hanya menyangkut wilayah, tetapi juga menyentuh aspek akidah umat Islam.
Pemimpin sejati yang mampu melindungi umat hanya dapat ditemukan dalam institusi Islam yang independen, bebas dari campur tangan asing. Institusi semacam ini adalah khilafah Islamiyah, yang berdiri atas dasar keimanan dan keberanian untuk menjaga serta membela hak-hak umat Islam. Dalamdaulah Islam, pemimpin memiliki kewajiban untuk melindungi umat dan memprioritaskan kepentingan mereka di atas segala pengaruh eksternal, terutama dalam menghadapi persoalan vital seperti pembebasan Palestina.
Khilafah juga akan memberikan perlindungan hakiki, yakni dengan memberikan pembelaan atas tanah dan kaum muslim di Palestina dan juga semua wilayah. Tidak hanya kaum muslim Palestina yang akan terbebas dari penganiayaan, tetapi juga muslim Uighur di Xinjiang Cina, muslim Rohingya di Myanmar, muslim Kashmir di India, muslim Moro di Filipina, muslim Patani di Thailand, dan lainnya.
Khilafah juga akan mengeluarkan kaum muslim di seluruh dunia dari keterpurukan ekonomi, kebodohan, dan penderitaan-penderitaan lainnya. Khilafah adalah raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi seluruh umat Islam. Terlibat dalam aktivitas memperjuangkan penegakan Khilafah adalah wajib bagi kaum muslim.
Maka, pentingnya upaya serius dalam mendakwahkan pemahaman yang benar tentang solusi bagi masalah Palestina, khususnya dalam konteks menyerukan jihad dan menegakkan Khilafah. Tujuannya adalah agar umat Islam tidak terpengaruh oleh solusi-solusi yang ditawarkan oleh Barat, yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Karenanya untuk mewujudkan solusi yang sesuai dengan ajaran Islam, diperlukan pemahaman yang sahih dan konsisten. Selain itu, metode yang digunakan dalam upaya ini harus selaras dengan metode dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., yaitu dengan pendekatan yang bertahap, sistematis, dan sesuai dengan syariat Islam. Ini mencakup tidak hanya pemahaman tentang jihad dan Khilafah, tetapi juga cara yang benar dalam mengajak umat untuk mendukung dan mewujudkan ide-ide tersebut.
Dengan mendakwahkan pemahaman dan metode yang benar, diharapkan umat Islam dapat bersatu dan mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan ajaran Islam dalam menghadapi tantangan di Palestina, tanpa tergantung pada solusi yang datang dari luar tradisi Islam.
Wallahu ‘alam bisshawab
(Penulis: Cika Kintan Maharani)