Jakarta– Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan langkah besar dengan merancang aturan batas usia bagi anak dalam menggunakan media sosial. Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid mengungkapkan rencana ini dalam upaya menyelaraskan regulasi nasional dengan pendekatan serupa yang telah diterapkan di Australia.
“Aturan pemerintah terkait batas usia mengakses media sosial akan segera dikeluarkan. Ini untuk menjembatani sebelum hadirnya undang-undang yang lebih komprehensif,” ujar Meutya setelah bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Menanggapi wacana tersebut, Praktisi Psikolog Anak, Aninda, S.Psi, M.Psi.T, menyebutkan bahwa tanggung jawab membatasi akses media sosial pada anak juga berada di tangan orangtua. Ia menyarankan beberapa metode praktis, salah satunya adalah intermittent gadget fasting, atau puasa gadget.
“Prinsipnya sama seperti intermittent fasting dalam diet makanan. Misalnya, keluarga memutuskan berhenti menggunakan gadget pukul 8 malam hingga pukul 6 pagi. Ini harus melibatkan seluruh anggota keluarga, termasuk orangtua, agar anak melihat teladan dari orangtua mereka,” jelas Aninda.
Selama periode puasa gadget, ia merekomendasikan orangtua menyediakan kegiatan yang menyenangkan untuk anak, seperti makan malam bersama, menonton film keluarga, atau sekadar berbagi cerita tentang aktivitas sehari-hari.
Aninda menekankan pentingnya memberikan aktivitas alternatif bagi anak agar mereka tidak kembali mencari hiburan melalui media sosial.
“Jika orangtua hanya meminta anak berhenti menggunakan gadget tanpa memberi pengganti, anak akan merasa bosan dan kembali berselancar di media sosial,” tambahnya.
Ia juga menyoroti pentingnya interaksi yang bermakna dalam keluarga. Dengan melibatkan anak dalam aktivitas bersama, orangtua tidak hanya mendukung regulasi pemerintah, tetapi juga memperkuat hubungan emosional dengan anak.
Sementara aturan ini masih dalam tahap perancangan, para ahli mengingatkan bahwa implementasinya harus dilakukan secara bijaksana dan inklusif. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat, terutama orangtua, memiliki peran penting dalam memastikan pembatasan ini berdampak positif bagi tumbuh kembang anak.
(d10)