Jakarta — Pemerintah telah menahan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak awal tahun ini. Namun, akhir bulan ini menjadi tenggat waktu terakhir tanpa penyesuaian harga BBM, yang kemungkinan besar akan berubah bulan depan. Para pengamat memperkirakan kenaikan harga BBM, termasuk BBM bersubsidi, akan terjadi pada bulan Juli mendatang.
Faktor Penyebab Potensi Kenaikan Harga BBM
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan bahwa ada tiga faktor utama yang mendorong potensi kenaikan harga BBM. Pertama, harga minyak saat ini telah berada di atas rata-rata harga minyak yang ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kedua, nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi. Ketiga, target lifting minyak yang tidak tercapai.
“Kalau dilihat dari tiga variabel, harga minyak di atas rata-rata APBN, nilai tukar rupiah juga terdepresiasi, ditambah lagi lifting sulit dicapai artinya kan impor akan bertambah. Tiga variabel ini yang mendorong harga BBM jadi lebih tinggi daripada sekarang,” ujar Komaidi saat dihubungi detikcom, Rabu (26/6/2024).
Situasi Ekonomi dan Implikasi Fiskal
Dalam APBN 2024, asumsi harga minyak Indonesia Crude Price (ICP) ditentukan sebesar US$82 per barel. Per Mei 2024, harga ICP sendiri ditetapkan sebesar US$79,78 per barel, turun dari bulan sebelumnya yang mencapai US$87,61 per barel. Sementara itu, harga minyak dunia acuan Brent berada di level US$85,95 per barel, dan minyak mentah acuan West Texas Intermediate (WTI) di US$81,63 per barel.
Nilai tukar rupiah beberapa waktu ini juga tertekan oleh dolar AS. Pada hari ini, nilai tukar rupiah dibuka melemah ke level Rp16.462 per dolar AS. Sementara itu, dari sisi lifting minyak, per Mei 2024, dari target lifting minyak sebesar 635 ribu barel per hari (BOPD), baru terealisasi sebesar 561,9 ribu BOPD. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan lifting minyak tahun ini hanya mencapai 595 ribu BOPD.
Dengan kondisi tersebut, Komaidi menilai ruang fiskal APBN sudah cukup berat dan memerlukan penyesuaian. “Kalau lihat ruang fiskalnya sebetulnya sudah dalam posisi agak berat, logisnya sih memang sharing beban, artinya sebagian dibebankan ke konsumen, ada kenaikan tapi terbatas,” tambahnya.
Pertimbangan Politis dan Dampak Inflasi
Di sisi lain, pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai belum ada urgensi bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM, khususnya yang bersubsidi. Meskipun harga keekonomian BBM subsidi sudah jauh dari harga pasar, menurut Fahmy, pemerintah harus menahan harga agar tidak menimbulkan dampak inflasi yang signifikan.
“Kalau harga BBM naik ini akan membahayakan perekonomian Indonesia karena kenaikan tadi akan menyulut inflasi dan akan menurunkan daya beli serta menambah angka kemiskinan,” kata Fahmy kepada detikcom.
Fahmy juga menyarankan agar pemerintah tidak ikut menahan harga BBM non-subsidi seperti Pertamax, agar tidak perlu membayar kompensasi kepada Pertamina. “Pemerintah tak perlu menahan lebih lama lagi harga BBM non-subsidi, serahkan saja keputusannya kepada Pertamina untuk menetapkan harga BBM non-subsidi,” tambahnya.
Keputusan Pemerintah dan Masa Depan BBM
Pemerintah hingga kini belum menentukan apakah harga BBM akan naik mulai bulan depan. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan sejauh ini belum ada pembahasan mengenai hal tersebut. “Itu tidak dibahas di dalam. Nanti akan ada pembahasan tersendiri,” ujar Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (24/6/2024).
Meskipun belum ada keputusan final, jumlah subsidi BBM sudah ditetapkan dalam APBN 2024, dan sejauh ini pemerintah tidak berniat mengubah ketetapannya. Namun, dengan pertimbangan ekonomi dan politis yang ada, keputusan akhir mengenai kenaikan harga BBM bulan depan akan menjadi perhatian penting bagi seluruh masyarakat Indonesia.