Oleh: Syifa Nusaibah
Opini — Kasus HIV/AIDS di Provinsi Gorontalo menunjukkan tren yang cukup mengkhawatirkan. Sejak tahun 2001 hingga 2024, kasus HIV/AIDS di Gorontalo telah mencapai 1.180 orang, dengan dominasi kasus tertinggi berada di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo. Kabupaten Gorontalo tercatat hampir 40% dari total kasus, sementara Kota Gorontalo mencapai 30%. Saat ini, sekitar 600 orang dengan HIV/AIDS masih dalam penanganan Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo (Bicara.com, 21/9/2024).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), diperkirakan terdapat 39,9 juta orang hidup dengan HIV/AIDS pada akhir tahun 2023, dengan rincian 1,4 juta penderita adalah anak-anak (0-14 tahun) dan 38,6 juta orang dewasa (15 tahun ke atas). Adapun data tahun 2023 yang diterbitkan dalam Global AIDS Report 2024 menunjukkan bahwa di Indonesia, 28.000 orang baru terinfeksi HIV (insiden kurang dari 0,1 per 1.000 populasi yang tidak terinfeksi). Sekitar 570.000 orang hidup dengan HIV, dengan prevalensi 0,4% di antara orang dewasa berusia 15-49 tahun, kurang dari 0,1% di antara wanita muda berusia 15-24 tahun, dan 0,2% di antara pria muda berusia 15-24 tahun.
HIV/AIDS telah menjadi problematika global yang semakin mengkhawatirkan di era modern ini. Penyebaran virus ini tidak mengenal batasan usia, jenis kelamin, atau latar belakang sosial, sehingga berdampak pada seluruh kalangan, termasuk generasi muda. Data terbaru menunjukkan bahwa kasus HIV/AIDS terus meningkat, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
Metode Penularan
Penularan virus ini dapat melalui beberapa aspek, di antaranya penularan vertikal dari ibu ke anak. Ini merupakan salah satu penyebaran HIV pada anak dan bayi yang dapat terjadi selama kehamilan, persalinan, atau menyusui. Virus HIV dapat menyusup ke tubuh janin melalui aliran darah ibu saat kehamilan, atau melalui paparan cairan tubuh selama proses persalinan. Pada tahap menyusui, virus juga dapat ditularkan melalui ASI yang terkontaminasi.
Di sisi lain, merebaknya pekerja seks komersial (PSK) juga menjadi alasan penyebaran HIV/AIDS. PSK merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap infeksi HIV. Hal ini disebabkan oleh tingginya frekuensi hubungan seksual tanpa pengaman dan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai. PSK sering kali terpapar HIV melalui klien yang tidak terdeteksi atau tidak menyadari status HIV mereka. Selain itu, penggunaan narkoba suntik di kalangan PSK juga meningkatkan risiko penularan HIV melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
Penyebaran HIV/AIDS di kalangan remaja, terutama melalui seks bebas, telah menjadi masalah serius di banyak negara. Salah satu faktor utama dan terbesar dalam meningkatnya penyebaran ini adalah gaya pacaran remaja yang semakin bebas, tanpa batasan yang jelas, dan sering kali melibatkan aktivitas seksual yang menyerupai hubungan suami istri. Gaya pacaran anak muda saat ini sering kali didorong oleh tren sosial dan pengaruh media yang mengaburkan batas-batas moral dan nilai tradisional tentang hubungan asmara dan seksualitas.
Hal ini diperparah oleh anggapan bahwa hubungan seksual merupakan bagian “normal” dari pacaran, sebuah pemikiran yang sering kali dibentuk oleh pengaruh lingkungan sosial dan media. Di berbagai media, seperti film, serial televisi, dan media sosial, hubungan intim antar remaja dipresentasikan seolah-olah merupakan bagian dari kehidupan asmara yang lumrah. Pesan ini secara tidak langsung memberikan legitimasi terhadap perilaku seksual yang bebas, dan remaja yang terpapar dengan konten-konten tersebut mungkin merasa bahwa hubungan seks dalam pacaran adalah hal yang wajar dilakukan. Remaja juga cenderung tidak menyadari bahwa HIV/AIDS dapat menyebar melalui hubungan seksual dengan seseorang yang mungkin tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi.
Kasus HIV/AIDS ibarat gunung es yang tidak pernah cair, sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa penyakit berbahaya ini terus meningkat. HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi momok global karena dampak dan penyebarannya yang luas. Sejak pertama kali terdeteksi, penyakit ini telah banyak dikaitkan dengan perilaku seksual yang berisiko, salah satunya adalah hubungan seksual sesama jenis yang terjadi dalam komunitas LGBT, terutama di kalangan pria homoseksual. Penyebaran HIV/AIDS pada awalnya teridentifikasi pada tahun 1978, tetapi baru pada tahun 1981 gejala penyakit ini dikenali pada pria homoseksual di San Francisco, Amerika Serikat. Pada masa itu, sejumlah besar pria homoseksual menunjukkan gejala penyakit yang aneh dan misterius, yang kemudian diidentifikasi sebagai HIV/AIDS. Inilah yang menimbulkan persepsi bahwa komunitas LGBT, khususnya pria homoseksual, menjadi salah satu kelompok yang rentan dan berkontribusi dalam penyebaran penyakit tersebut.
Secara ilmiah, hubungan seksual antar pria memiliki risiko penularan HIV yang lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan heteroseksual. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti seringnya terjadi luka kecil pada jaringan tubuh selama hubungan seksual yang memfasilitasi masuknya virus ke dalam aliran darah. Tanpa penggunaan pengaman seperti kondom, kemungkinan transmisi HIV melalui kontak langsung dengan cairan tubuh yang terinfeksi menjadi sangat tinggi. Oleh karena itu, perilaku seks bebas tanpa pengaman yang lebih sering terjadi dalam beberapa segmen komunitas LGBT, khususnya di kalangan pria yang memiliki banyak pasangan seksual, semakin memperbesar risiko penyebaran HIV.
Di Indonesia, kasus HIV/AIDS pertama kali dilaporkan sekitar satu dekade setelah wabah global, tepatnya pada akhir 1980-an di Bali. Sama seperti tren awal di Amerika Serikat, kasus pertama yang dilaporkan di Indonesia juga terjadi di kalangan pria homoseksual. Ini menguatkan anggapan bahwa komunitas LGBT, terutama kelompok pria homoseksual, memiliki kontribusi besar terhadap penyebaran awal HIV/AIDS di berbagai belahan dunia. Seiring berjalannya waktu, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia semakin meluas dan tidak lagi terbatas pada kelompok tertentu, tetapi juga menyentuh populasi heteroseksual dan kelompok rentan lainnya melalui perilaku berisiko seperti penggunaan jarum suntik tidak steril dan transmisi dari ibu ke anak.
Akar Masalah Sesungguhnya
Akar dari banyak masalah sosial dan moral yang kita hadapi saat ini dapat dilacak hingga ke dasar ideologis yang menjadi landasan tata kelola kehidupan modern, yaitu liberalisme dan sekularisme. Kedua paham ini, yang berkembang pesat terutama di dunia Barat, menekankan kebebasan individu dan pemisahan agama dari urusan publik. Dalam liberalisme, kebebasan individu adalah prinsip utama, sehingga setiap orang memiliki hak untuk memilih bagaimana menjalani hidup mereka, tanpa campur tangan negara atau otoritas lainnya. Sementara itu, sekularisme menempatkan agama sebagai urusan pribadi yang tidak boleh memengaruhi kebijakan publik. Kedua prinsip ini, meskipun tampak menjanjikan dalam memberikan kebebasan dan keterbukaan, sebenarnya telah menciptakan celah besar dalam moralitas masyarakat, yang berdampak pada banyak persoalan sosial yang kita hadapi, termasuk penyebaran penyakit seperti HIV/AIDS.
Liberalisme dan sekularisme cenderung mengabaikan aspek moralitas dan etika agama yang sejatinya menjadi dasar panduan hidup manusia. Dengan memisahkan agama dari kehidupan publik dan memprioritaskan kebebasan individu di atas segalanya, masyarakat menjadi lebih permisif terhadap berbagai bentuk perilaku yang berisiko. Contohnya, dalam konteks hubungan seksual, liberalisme memberikan kebebasan kepada individu untuk menjalani orientasi seksual atau gaya hidup apapun yang mereka pilih, selama itu tidak secara langsung merugikan orang lain. Namun, dalam jangka panjang, kebebasan yang tidak terkendali ini justru membuka jalan bagi berbagai perilaku yang membawa risiko besar, seperti seks bebas, hubungan homoseksual, dan penggunaan narkoba suntik, yang semuanya berkontribusi terhadap penyebaran penyakit menular seperti HIV/AIDS.
Solusi yang ditawarkan oleh masyarakat yang didasarkan pada liberalisme dan sekularisme sering kali hanya bersifat tambal sulam dan tidak menyentuh akar permasalahan. Contohnya, untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS, yang banyak terkait dengan perilaku berisiko, solusi yang umum ditawarkan adalah penggunaan kondom, program penyuluhan kesehatan, dan akses yang lebih luas terhadap obat-obatan antiretroviral (ARV). Meskipun langkah-langkah ini penting dalam mengurangi dampak jangka pendek dari penyakit tersebut, mereka tidak menyentuh persoalan utama yang menyebabkan perilaku berisiko ini terus berlangsung. Penyebaran HIV/AIDS tidak hanya disebabkan oleh kurangnya akses ke kondom atau obat-obatan, tetapi lebih kepada cara pandang yang permisif terhadap perilaku seksual berisiko yang muncul dari ideologi liberal.
Sebagai contoh, dalam masyarakat yang diatur oleh nilai-nilai agama, perilaku seperti seks bebas, hubungan homoseksual, dan penggunaan narkoba suntik jelas-jelas dilarang dan diatur secara ketat. Agama memberikan panduan moral yang jelas bagi individu tentang bagaimana seharusnya mereka menjalani hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam konteks ini, penyebaran HIV/AIDS dapat diminimalisir melalui pendidikan yang lebih baik tentang bahaya perilaku berisiko serta penanaman nilai-nilai moral yang kuat. Masyarakat perlu kembali pada akar nilai-nilai moral yang menempatkan kesehatan dan keselamatan jiwa sebagai prioritas utama, bukan hanya kebebasan individu semata.
Solusi Alternatif
Akhirnya, kita perlu merumuskan solusi yang lebih komprehensif dan berbasis nilai-nilai moral dalam menangani masalah HIV/AIDS di Indonesia. Pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai moral dan etika harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan nasional, dimulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Generasi muda perlu dibekali dengan pemahaman yang kuat tentang konsekuensi dari perilaku berisiko serta pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa, tidak hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi orang lain.
Kita juga perlu menggalang dukungan dan kerjasama antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, lembaga agama, dan komunitas lokal, dalam merumuskan program-program yang menyasar penyebaran HIV/AIDS. Program ini harus melibatkan edukasi, penguatan nilai-nilai moral, serta akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan bagi kelompok-kelompok rentan.
Selain itu, penting untuk menyebarluaskan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS kepada masyarakat luas. Media harus berperan aktif dalam memberikan edukasi dan informasi yang tidak hanya berbasis pada fakta ilmiah, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat menyadari betapa seriusnya masalah HIV/AIDS dan bersama-sama berupaya untuk mengurangi penyebarannya melalui perilaku yang lebih bertanggung jawab.