Oleh : Sandyakala
Opini — Judi online (Judol) kini tidak hanya menjadi masalah di kalangan masyarakat dewasa, tetapi juga telah menyusup ke lembaga-lembaga pendidikan. Data dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa judi online telah merambah jauh lebih dalam hingga menjangkiti kalangan pelajar, hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran yang serius. MenteriKomunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengungkapkan bahwa terdapat belasan ribu konten phishing berkedok judi online yang menyusup ke situs-situs tersebut.
“Di lembaga pendidikan, ada 14.823 konten judi online yang menyusup, sementara di lembaga pemerintahan terdapat 17.001 temuan konten phishing,” ujar Budi Arie usai Rapat Terbatas mengenai Satgas Judi Online di Istana Kepresidenan, Rabu (23/5/2024), sebagaimana dilaporkan oleh CNBC Indonesia.
Mengutip laporan dari Liputan6.com, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto juga menyampaikan keprihatinannya mengenai fenomena ini. Menurutnya, judi online telah melibatkan 3,2 juta rakyat sepanjang 2023. Pernyataan ini disampaikan usai rapat Kemenko Polhukam di Jakarta, Selasa, 23 April 2024. Mengutip laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Hadi menyebut perputaran uang judi pada 2023 mencapai Rp327 triliun dengan jumlah yang terlibat/bermain 3,2 juta orang. Sebagian besar mereka bermain di bawah nilai Rp 100 ribu yang merupakan golongan warga berpenghasilan rendah dengan profil sebagai pelajar, mahasiswa, buruh, petani, ibu rumah tangga, pegawai swasta, dan lain-lain.
KumparanNEWS RV (27), mantan mahasiswa di Universitas Bandung, menceritakan pengalamannya dengan judi online. “Saya sempat berhenti kuliah karena mengambil komputer di lab untuk menutup utang ke teman dan beberapa aplikasi pinjaman online akibat judol,” ujarnya saat dihubungi.
Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris di salah satu universitas di Bandung, AA (21), menceritakan kepada kumparan bagaimana dirinya terjerat judi online. “Awalnya saya kecanduan judi online saat semester awal masuk perkuliahan. Teman-teman juga banyak yang main, jadi saya penasaran dan akhirnya kecanduan,” ujarnya saat ditemui di Kabupaten Bandung, Rabu (19/6/2024).
Beberapa hari kemarin Gorontalo juga digegerkan dengan kasus terbaru yang melibatkan seorang mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Kota Gorontalo. Mahasiswi berinisial NPP (20) ditangkap karena diduga menggelapkan 11 unit laptop milik temannya. NPP mengaku melakukan tindakan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pacarnya yang bermain judi online (Judol).
Kapolresta Gorontalo Kota, Kombes Pol Ade Permana, menjelaskan bahwa pelaku melakukan aksinya dengan modus meminjam laptop dari para korban dengan alasan ingin mengerjakan tugas akhir kuliahnya. “Laptop itu digadaikan, kemudian uangnya diserahkan ke pacarnya untuk bermain judi slot dan berhura-hura,” kata Ade dalam keterangan tertulisnya, Rabu (24/07), Sumber Kabar Makassar.
Gagalnya Berpikir Kritis
Sebagai individu yang mendapat kesempatan untuk mengecap pendidikan tinggi, mereka seharusnya memiliki pemahaman dan penalaran yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat yang kurang berpendidikan. Padahal bahaya judol bukan hanya sebatas menghabiskan harta kekayaan, tetapi juga merusak mental dan meningkatkan angka kriminalitas. Mereka seharusnya mampu menganalisis dan memahami bahaya serta dampak negatif dari judi online dengan lebih kritis bukan malah ikut terjerumus di dalamnya.
Tekanan hidup yang semakin berat akibat cengkeraman kapitalisme, ditambah dengan serangan gaya hidup liberal dan konsumtif, membuat banyak anak muda, bahkan mahasiswa, terjerat judi online. Di era kapitalisme ini, belanja bukan lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar. Banyak orang membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan, hanya untuk memuaskan keinginan semata. Bagi mereka, belanja telah menjadi aktivitas memenuhi hasrat, bukan kebutuhan. Hal ini menunjukkan betapa gaya hidup konsumtif telah menguasai pikiran dan tindakan generasi muda kita, memaksa mereka mencari cara instan seperti judi online untuk mendapatkan uang agar apa yang mereka inginkan tercapai.
Jika ditelisik gaya hidup konsumtif dan hedonistik kini menjadi pemicu utama mengapa banyak mahasiswa terjerat dalam kasus judi online. Demi memenuhi hasrat untuk hidup serba ada dan bersenang-senang tanpa batas, mereka rela mempertaruhkan masa depan dan integritas akademis mereka. Alih-alih menggunakan pendidikan tinggi untuk mencapai kesuksesan, mereka justru terperosok dalam perangkap judi online, mengorbankan segala potensi yang dimiliki demi kesenangan sesaat. Ironisnya, mereka yang seharusnya menjadi agen perubahan malah terjerumus dalam pola hidup yang merusak, menunjukkan betapa rapuhnya pemahaman mereka tentang nilai-nilai kehidupan yang sejati.
Adanya Perkembangan Teknologi
Tidak bisa dimungkiri bahwa maraknya judi online hari ini juga bukan semata karena masalah yang disebutkan di atas, tetapi juga akibat revolusi industri 4.0 ala kapitalis. Kemajuan teknologi yang memfasilitasi akses platform digital mempercepat dan memudahkan transaksi antar pengguna, sehingga judi online semakin merajalela. Teknologi saat ini ibarat pisau bermata dua; selain memberi dampak positif, juga membawa dampak negatif yang mengerikan, salah satunya adalah penyebaran judi online.
Revolusi industri 4.0 menempatkan teknologi sebagai pusat kehidupan sehari-hari, tetapi tanpa landasan aqidah yang kuat, teknologi ini malah membuka pintu lebar bagi praktik-praktik maksiat. Platform digital yang begitu mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja, membuat judi online tumbuh subur tak terkendali. Upaya pemerintah untuk mengontrolnya terbukti tidak efektif. Pemblokiran situs-situs judi online hanya menghasilkan munculnya situs baru yang lebih banyak lagi. Ini mencerminkan betapa lemahnya peran negara dalam mengendalikan dampak negatif teknologi.
Keadaan ini memperlihatkan betapa negara tidak berdaya menghadapi tantangan yang dibawa oleh revolusi industri 4.0. Tanpa regulasi yang kuat dan tindakan tegas, masyarakat dibiarkan terperosok dalam jebakan judi online. Pemerintah yang abai dan setengah hati dalam menangani masalah ini hanya akan memperburuk situasi. Langkah-langkah yang diambil tidak menyentuh akar masalah, yakni keberadaan platform digital yang menjadi sarang judi online.
Solusi yang diperlukan bukan sekadar tindakan sporadis dan setengah hati, melainkan pendekatan yang menyeluruh menyentuh hingga ke akar masalah.
Tak Mampu Bersikap Tegas
Sayangnya ada banyak kasus judi online yang tak sampai ke pengadilan dan disidangkan.
“Kekeliruannya kebanyakan kasus (terkait judi online) selesai di penyidikan kepolisian, terlepas bagaimana cara penyelesaiannya, termasuk damai. Yang pasti itu kasusnya berhenti di situ, itu salah satu kelemahannya (dalam memberantas judi online),” jelas Fickar (Kompas.com, 1 Juli 2024)
Ironisnya, pejabat sebagai penegak hukum justru terlibat dalam industri judi. Akibatnya, upaya pemberantasan judi onlineoleh negarapun tampak tak membuahkan hasil apa-apa. Inilah konsekuensi dari negara yang dikendalikan oleh oligarki; meskipun judi online jelas-jelas merugikan, selama menguntungkan oligarki, praktik ini akan terus dilindungi.
Berakar pada Rusaknya Sistem Kehidupan
Maraknya judol ini tidak bisa dilepaskan dari karut marutnya sistem kehidupanyang sekular (pemisahan agama dari kehidupan) yang dianut hari ini,menjadikan rakyat mengambil jalan pintas, mudah terbujuk oleh iming-iming judi online yang penuh spekulasi. Para pemilik akun judi online mengambil cara gampang untuk mendapatkan uang, sementara penegak hukum justru terlibat bahkan dengan mudah disuap untuk melindungi para bandar, semata demi materi tanpa memikirkan dampak buruknya. Mereka tidak peduli apakah tindakan mereka merugikan orang lain atau bertentangan dengan syariah.
Fakta ini menunjukkan bahwa maraknya judi online tidak hanya terkait masalah kemiskinan, budaya, dan hukum, melainkan lebih bersifat sistemis, akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini tidak hanya gagal bertanggung jawab terhadap rakyatnya, tetapi juga menciptakan kerusakan di berbagai bidang kehidupan.
Tidak ada yang lebih tragis daripada melihat negara yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi bagian dari masalah. Sistem kapitalisme sekuler ini telah menggerogoti fondasi moral dan etika masyarakat, mengubah manusia menjadi serigala bagi sesamanya.
Inilah mengapa maraknya judi online harus dilihat sebagai masalah sistemik. Selama sistem kapitalisme sekuler ini masih diterapkan, masalah ini tidak akan pernah terselesaikan. Solusi yang diperlukan bukan sekadar tambal sulam, tetapi perubahan mendasar yang menyentuh akar yaitu menegakkan aqidah yang kuat.
Solusinya Hanyalah Islam
Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam didasarkan pada keyakinan bahwa Allah SWT adalah pencipta dan pengatur alam semesta. Manusia sebagai khalifatullah fil-ardh akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya di akhirat kelak. Pemikiran ini mencegah seorang Muslim melanggar syariat Islam, termasuk terlibat dalam judi online.
Untuk mewujudkan perubahan ini, tidak cukup hanya individu atau keluarga yang bertakwa. Seluruh elemen masyarakat, termasuk negara, harus bekerja sama. Dalam Islam, negara dipimpin oleh khalifah yang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw., “Al-Imam adalah raa-in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Negara Islam bertindak sebagai institusi yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Negara ini tidak akan memberi peluang bagi hal-hal yang merusak moral rakyatnya, termasuk melalui ruang digital. Negara juga akan memastikan pendidikan Islam dengan kurikulum berbasis akidah, menciptakan generasi berkepribadian Islam yang terhindar dari keburukan.
Sanksi tegas akan diberikan kepada siapa pun yang melanggar aturan Islam, termasuk aparat yang terlibat. Orang-orang yang tergabung dalam penegak hukum (kepolisian dll) akan diseleksi ketat, karena mereka menegakkan hukum Allah SWT. Tanggung jawab mereka bukan hanya kepada negara, tetapi juga kepada Allah. Dengan demikian, negara yang menerapkan Islam secara kafah akan menjaga umat dari kemaksiatan.
Judi online adalah aktivitas haram yang hanya berkembang dalam sistem sekuler liberal. Solusi efektif untuk mengatasinya adalah dengan mengganti sistem tersebut dengan sistem Islam. Maka ketika Daulah Islamiyah belum tegak, menjadi kewajiban kita untuk mewujudkannya.